HEADLINE

DPRD NTT Akan Evaluasi Menyeluruh Pinjaman Dana PEN Rp 1,5 Trilyun

 

Kupang;Jejakhukumindonesia.com,Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pinjaman dana Pemberdayaan Ekonomi Nasional (PEN) senilai Rp 1,5 Trilyun pada APBD 2021 yang dialokasikan untuk program investasi kerapu, TJPS, ternak dan porang maupun pembangunan infrastruktur jalan dan pengairan.

Demikian dikatakan Ketua DPRD NTT, Emilia Nomleni kepada Tim Media ini, Senin (28/6/21) siang, usai Rapat Paripurna DPRD NTT.  Menurutnya, evaluasi menyeluruh itu akan dilakukan terkait bunga pinjaman sekitar 6,19 persen dan tenor waktu yang mencapai 8 tahun.

“Semua fraksi dalam paripurna tadi sudah mengatakan kemampuan fisikal kita terbatas dengan bunga 6,19 persen per tahun. Tenornya juga 8 tahun itu juga melampaui masa jabatan gubernur.  Karena itu, kita akan lakukan evaluasi secara menyeluruh,” ujarnya.

Evaluasi yang pertama, lanjut Nomleni, terkait asal anggaran dan besaran bunga pinjaman. “Yang pertama soal anggaran ini diperoleh dari mana? Karena awalnya tanpa bunga atau bunga 0 persen sehingga kita tidak menyediakan anggaran untuk cicilan bunga dalam APBD,” jelasnya.

Yang kedua, kata Nomleni, terkait tenor atau jangka waktu 8 tahun. “Dengan artian bahwa tenor 8 tahun ini ada di dalam pemerintahan gubernur yang baru.  Hal ini harus dipastikan bahwa fiskal kita itu aman. Makanya kalau harus tetap pinjam, kita harus Win Win Solusi. Kalau kita tetap pinjam, tapi di angka berapa yang harus kita pinjam secara wajar dan realistis sehingga tidak memberatkan APBD NTT. Saya selalu katakan keberatan dengan adanya bunga 6,19 persen,” tandasnya.

Menurutnya, APBD Tahun Anggaran (TA) 2021 telah ditetapkan DPRD NTT pada Desember 2020, namun dalam proses perjalanan selama tahun 2021 , ada hal-hal atau perkembangan baru yang harus menjadi catatan penting penting bagi DPRD NTT. “Karena soal investasi kerapu dan TJPS ini, kita tidak hanya bicara soal PAD (Pendapatan Asli Daerah, red), akan tetapi kita harus bicara soal dampak apa yang akan didapat oleh masyarakat setempat dari program yang dilaksanakan,” papar Nomleni.

Misalnya, lanjut Ketua DPRD (dari Fraksi PDIP Dapil TTS) ini, jika dibentuk kelompok masyarakat maka harus ada manfaat yang diperoleh masyarakat. “Misalnya di Waekulambu dan Mulut Seribu, masyarakat di situ akan mendapat keuntungan apa dari investasi ini? Tidak hanya soal PAD, tapi masyarakat mendapat dampaknya. Kalau dengan hasil panen yang relatif minim maka ini yang harus menjadi bahan evaluasi penting tentang kinerja OPD terkait. Nah, ini yang harus menjadi catatan penting,” tandas Nomleni.

Menurutnya, program kerja Pemprov NTT harus realistis. “Kita tidak hanya bisa hanya omong-omong dan mimpi. Kita kan sudah bicara kalau TJPS itu tidak sekedar soal luas lahan tapi soal intervensi terhadap infrastruktur (irigasi, red) yang disiapkan dalam kepentingan TJPS itu menjadi seperti apa? Memadai untuk program besar-besaran atau tidak?” tegasnya.

Banyaknya sapi yang diperoleh dari TJPS, lanjut Nomleni, tergantung seberapa banyak jagung yang dipanen.  “Kita tidak usah omong sapi dulu, yang harus kita bicarakan itu mengenai keberadaan jagung itu ada dimana? Nah sekarang kalau kita bicara soal mau beli sapi, tetapi kita melihat sendiri soal TJPS itu berhasilnya seberapa banyak? Kalau hanya Cuma 1.300 hektar, hal ini akan menjadi pertanyaan besar.  Kan begitu,” kritiknya.

Sesuai pantauan DPRD NTT, jelas Nomleni, ternyata Pemprov NTT tidak menyiapkan infrastruktur (irigasi dan alsintan, red) untuk TJPS.  "Saya kan selalu bilang bahwa apabila musim tanam itu dilakukan 2 kali dalam setahun, maka 1 kali musim tanam itu (periode April-September/musim panas, red) harus ada intervensi terhadap infrastruktur pertanian dan alsintan (alat dan mesin pertanian, red),” ujarnya. 

Sedangkan untuk periode Oktober-Maret (musim hujan, red), papar Nomleni, tidak perlu ada intervensi pemerintah karena dengan sendirinya masyarakat sudah tahu bagaimana menanam jagung di musim hujan. “Tidak perlu intervensi lagi. Tapi kalau di musim panas, masyarakat harus diajarkan dan perlu intervensi pemerintah. Tapi kalau hanya sekedar omong, ya hasilnya seperti ini,” kritiknya. 

Tapi prinsipnya, kata Nomleni, DPRD NTT ‘berjalan’ bersama pemerintah. “Yang menjadi tuntutan kita adalah bagaimana teman-taman kita bekerja dengan dana yang sudah disediakan. Kalau hanya 1.300 hektar atau sekian tapi itu dibiayai dengan anggaran Rp 25 M, kira-kira itu bisa dikelola atau tidak? Hal itu akan menjadi bahan evaluasi. DPRD sudah menyetujui APBD. Tetapi dengan kondisi ini perlu dievaluasi dan apalagi evaluasi ini juga berkenaan dengan adanya bunga. Yang kemarin dengan tanpa bunga saja kita sudah setengah mati. Apalagi dengan bunga,” bebernya.

Menurut Nomleni, sejak awal DPRD NTT menyetujui pinjaman Dana PEN dalam APBD 2021 karena pihaknya memahami bahwa pinjaman Dana PEN tanpa bunga merupakan intervensi pemerintah pusat untuk membantu perekonomian daerah di masa pandemi Covid-19. “Kita pahami dana PEN merupakan intervensi pemerintah pusat terhadap perekenomian daerah. Nah sekarang ada bunga 0,16 persen,” ucapnya.

Nomleni juga mengkritisi tentang pinjaman dana PEN untuk pembangunan infrastruktur jalan. “Jadi tetap sistemnya yang kita lihat. Ini kompleks dan harus dipersiapkan dengan baik. Kalau GO saja tidak perlu dengan kita pinjam. Kalau bangun jalan dengan GO, dengan dana APBD saja kita bisa lakukan itu. Dengan syarat di OPD lain untuk sementara dikurangi untuk kita sepakat kerjakan itu. Yang kita harapkan bukan sekedar GO,” tandasnya. 

Menurut Nomleni, evaluasi yang dilakukan DPRD NTT bukan sekedar evaluasi tapi akan dituangkan dalam pelaksanaan-pelaksanaan ke depan. “Kalau misalnya 40 ribu hektar, tapi yang 10 ribu saja capaiannya tidak sampai 2 ribu hektr. Oke kita tetap lakukan itu tapi sudahlah tidak usah terlalu muluk. Kita tetap lakukan itu dengan kemampuan yang ada pada kita. SDM ada tapi uang dan infrastruktur harus disiapkan,” kritiknya. 


Seperti diberitakan sebelumnya, program TJPS yang dilaksanakan Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT menghabiskan anggaran Rp 25 Milyar (dari Biaya Tidak Terduga/BTT, red) hanya mampu merealiasikan sekitar 1.300 hektar lahan yang ditanami jagung (periode April – September/Asep) dari target 10.000 hektar. 

Menurut Kadis Pertanian dan Tanaman Pangan NTT, Lecky Koli, hasil panennya jagung pada periode Asep hanya sekitar 2.000 ton. Sedangkan sisanya, sekitar 8.700 hektar ditanam di musim hujan (periode Oktober – Maret/Okmar. Sapi yang dihasilkan dari TJPS (data sementara, red) hanya sebanyak 412. Selain sapi juga dibeli babi, kambing, dan ayam. (hm ./tim)

Baca juga