HEADLINE

Diduga Ada Indikasi Korupsi di Proyek Pengerjaan Puskesmas dan Jembatan Senilai Rp 30 Milyar Kabupaten TTU, APH Diminta Turun Tangan

 

TTU;Jejakhukumindonesia.com Pengerjaan dua proyek pembangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan satu unit jembatan di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dengan total nilai Rp 30 Milyar Tahun Anggaran (TA) 2020 dan 2021 terindikasi korupsi. Aparat Penegak Hukum/APH (baik kepolisian maupun kejaksaan) diminta untuk segera melakukan proses hukum terhadap pihak-pihak terkait yang bertanggung jawab atas tiga proyek tersebut. 


Demikian disampaikan Direktur Lembaga Anti Kekerasan Masyarakat Sipil  Cendana Wangi (Lacmas CW), Viktor Manbait melalui rilis tertulis yang diterima tim media ini pada Jumat (14/01/2021). 


"Proyek pembangunan Puskesmas Inbate Kecamatan Bikomi Nilulat senilai Rp 6,5 Milyar, Puskesmas Mamsena Mamsena, Kecamatan Insana Barat, senilai Rp 3,8 Milyar, Jembatan Naen senilai Rp 19 Milyar, ketiganya terindikasi adanya praktek korupsi. Polisi dan Jaksa harus mulai bergerak untuk kumpul bukti, panggil dan periksa orang-orang yang diduga terlibat proyek tersebut, baik KPAnya, PPK, maupun Kontraktornya. Realisasi anggaran hampir 100 persen, tetapi progres realisasi fisik proyek rata-rata baru mencapai 40-an persen," tulisnya. 


Menurutnya, untuk pekerjaan Puskesmas Inbate, ditemukan kerusakan pada pekerjaan mayor seluruhnya berupa pekerjaan Aluminium Composite Panel (ACP) yang nilainya mencapai Rp 2 Milyar dengan perhitungan kerugiannya  mencapai Rp 1,1 milyar. 


"Ini bukan sekedar kelalaian dari pihak ketiga dalam menjamin kualitas mutu projek yang dikerjakan, tetapi sudah merupakni niat jahat dari pengusaha (kontraktor, red) tersebut untuk merampok uang negara dengan mengerjakan projek (ACP) tidak sesuai dengan spek untuk seluruh bagian atas gedung," jelasnya. 


Pekerjaan ACP, kata Viktor, yang seharusnya   dilakukan per dua meter, tetapi dalam realisasinya dilakukan dengan menggunakan ACP sepanjang 4 meter. Dengan demikian, tidak mengherankan jika ACP bangunan Puskesmas Inbate mulai terlihat miring sana sani, karena rangka yang menopangnya tidak sebanding  dengan beban panjangnya. 


"Selain itu, adanya keramik yang menggelembung ke permukaan dan terlepas. Setidaknya ini menunjukan kalau kualitas bahan dan mutu dari dasar bangunaunanya juga bermasalah. Sudah begitu, tega sekali mereka menggunakan seng bekas dalam pengatapan puskesmas Inbate itu. Ini sudah sangat keterlaluan ,  model kerja seperti ini harus diusut tuntas dan dihukum seberat-beratnya," tegasnya. 


Hal ini, kata Viktor, merugikan masyarakat untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan pelayanan kesehatan  dari bangunann pelayanan kesehatan yang bermutu dan berusia panjang, karena dikerjakan asal jadi dan seadanya yang membahayakan keamanan dan keselamatan  orang yang menggunakan puskesmas tersebut. 


"Pekerjaan pembangunan Puskesmas Inbate  diduga merugikan keuangan negara. Ini berkaitan juga dengan kinerja panitia pembangunan puskesmas itu, baik itu perencana, pengawas dan PPKnya, juga Kuasa Pengguna Anggaranya yang bila lalai dan atau sengaja membiarkan terjadinya hal tersebut, tentunya harus juga dimintai pertanggungjawaban hukumnya," ujarnya.


Dalam investigasi Lakmas CW, beber Viktor lebih lanjut, menemukan pemenang tender pengerjaan proyek bangunan Puskesmas Inbate adalah PT. Jery Jaya Abadi. Namun dalam pelaksanaan proyek tersebut sehari hari, tampak orang orang diluar manajemen PT. Jery Kaya Abadi yang tidak terikat kontrak pekerjaan proyek tersebut yang lebih banyak berperan mengatur jalannya pekerjaan proyek Puskesmas Inbate. 


"Dan orang orang ini juga yang ada dalam pekerjaan Puskesmas Mamsena dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 3.8 Milyar, yang hingga akhir masa kontraknya di bulan Desember 2021, belum mencapai 42 persen. Dan dipaksakan untuk dilakukan amandamen kontrak perpanjangan waktu pekerjaan 50 hari kerja dengan denda," bebernya. 


Padahal, sebut Viktor lebih lanjut, penililaian PPK, Pengawas dan KPA atas kemampuan kerja dan kemampuan finansial kontraktor untuk dapat melanjutkan pekerjaan yang ada sudah harus dipastikan sejak awal pekerjaan ketika dibayarkan uang muka  pekerjaan 20 persen. 


"Saat sudah realisasi penggunaan anggaran 17 persen itu, KPA sudah bisa menilai, apakah fisik pekerjaan sudah sesuai atau belum, dan kontraktornya  mampu tidak untuk melanjutkan pekerjaan itu, sehingga sudah bisa mengambil keputusan apakah di PHK atau dilanjutkan sesuai dengan Masa Kontrak," jelasnya. 


Menurut Viktor Manbait, sudah jelas kontraktor proyek Puskesmas Mamsena sudah keteter dan ngos-ngosan dengan realisasi tahapan kerja yang tidak sesuai dengan target fisik minimal pekerjaan, justru terus dipaksa sampai dengan akhir masa kontrak kerja baru di lakukan Amandamen perpanjangan kerja 50 hari. 


"Ini praktek yang keliru dan jahat yang selama ini dilakukan pada ketiga projek tersebut. Apalagi sampai dengan berakhirnya masa kontrak kerja, capaian fisik proyek belum mencapai 45 persen. Seharusnya dilakukan PHK dan kontraktornya (PT. Jery Karya Abadi, red) di-blacklist, bukan dilakukan adendum perjuangan kontrak 50 hari kerja dengan denda," kritiknya. 


Kedua, lanjut Viktor, terkait proyek pembangunan Puskesmas Mamsena, 

Bupati TTU, Djuandi David pernah mengatakan, "saya menilai bahwa PT yang menang tender itu belum memiliki pengalaman sehingga saya batalkan."  Lalu dilakukan tender ulang dengan pemenang tender Perusahaan yang berbeda yaitu PT. Aliran Berkat Mandiri.


Sayangnya, perusahaan yang dinilai Bupati Djuandi David berpengalaman itu, justru sampai dengan berakhirnya masa kontrak kerjanya di Desember 2021 baru mampu mengerjakan 41 persen proyek pembangunan Puskesmas Mamsena yang bernilai Rp. 3,8 Milyar lebih itu. 


"Artinya, alasan pembatalan  tender kali lalu seperti yang disampaikan oleh Bupati TTU dengan alasan kontraktornya tidak berpengalaman juga menjadi tanda tanya besar," ujarnya. 


Ketiga, sebut Viktor Manbait disamping pekerjaan pembangunan kedua puskesmas yang diduga darat korupsi itu, hal yang sama terjadi juga atas pengerjaan  proyek pembanguan Jembatan Naen senilai Rp 19 Milyar lebih pada tahun 2021 oleh PT. Citra Timor Mandiri (CTM). Sampai dengan berakhirnya masa kontrak proyek tersebut, realisasi fisik proyek tersebut oleh sang kontraktor baru mencapai 40-an persen. 


"Seharusnya perusahaan itu  (PT.CTM) sudah di-PHK dan di-balcklist, namun dilakukan adendum perpanjangan dengan denda, bahkan pemilik projek telah menggelontorkan pencairan biaya tahapan pekerjaan sampai dengan 80 persen. Padahal, fisik pekerjaan baru mencapai 40an persen. Oleh karena itu, juga harus diselidiki oleh APH, baik kepolisian maupun Kejaksaan Negeri TTU dugaan adanya korupsi dalam pekerjaan proyek itu. Ini Jelas jelas menyimpang," ungkapnya. 


Lebih lanjut, Ketua Lakmas CW  juga mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) untuk melakukan audit atas ketiga proyek tersebut, mengingat sumber dana pembangunan ketiga proyek tersebut berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Pemerintah Pusat untuk percepatan infrasturktur kesehatan, jalan dan jembatan di Kabupaten TTU. (jh/tim).

Baca juga