Salut Kepsek Jeni Banu: Mulai Juli 2025 Tidak Ada Pungutan Uang Komite dan Pungutan Lainnya yang Memberatkan Siswa

 

TTS;Jejakhukumindonesia.com,Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Satu Atap (SATAP) Penmina telah melakukan kegiatan pembagian Laporan hasil capaian kompetensi peserta didik bagi siswa kelas 7 dan kelas 8, yang berlangsung di ruang aula SMP Negeri Satap Penmina desa Noinbila kecamatan mollo selatan kabupaten Timor tengah selatan (TTS) Provinsi Nusa tenggara timur (NTT), pada Kamis (19/6/2025).


Kegiatan pembagian laporan hasil capaian kompetensi peserta didik dihadiri oleh kepala sekolah SMP Negeri Satap Penmina, Jeni D.I. Banu,S.Pd, wakil kepala.sekolah Marselina Tanaem,S.Pd bersama semua dewan guru, sekretaris Komite Adi Tasekeb, orang tua/wali siswa, dan semua siswa kelas 7 dan kelas 8. 


Sebelum pembagian laporan hasil capaian kompetensi peserta didik maka kepala sekolah SMP Negeri SATAP Penmina Jeni Banu menyampaikan bahwa jumlah peserta didik yang menerima hasil belajar (raport) pada hari ini sebanyak 68 siswa dari 3 rombongan belajar (Rombel) dengan perincian sebagai berikut, siswa kelas 7 berjumlah 28 orang, siswa kelas 8A berjumlah 19 orang dan siswa kelas 8B berjumlah 21 orang, sehingga totalnya adalah 68 orang siswa dan semuanya dinyatakan naik kelas dengan nilai yang sangat memuaskan dan memuaskan. Ia juga menyampaikan bahwa ada 10 mata pelajaran yang selama ini diberikan kepada siswa namun ada penambahan satu mata pelajaran lagi yaitu mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) serta sistem pembelajarannya menggunakan kurikulum Merdeka.


Setelah menyampaikan hasil kegiatan belajar mengajar selama ini, maka Kepsek Jeni Banu dalam sambutannya menyampaikan bahwa selamat ini SMP Negeri SATAP Penmina memiliki dua sumber dana yaitu dana BOS dan dana Komite. 

Namun karena saat ini tidak diijinkan untuk melakukan pungutan pada siswa atau orang tua/wali siswa maka Jeni dengan tegas melarang agar mulai bulan juli 2025  tidak boleh ada pungutan dana komite atau dana lain yang bertentangan dengan aturan yang berlaku. 


Hal ini dikarenakan adanya larangan pungutan uang di sekolah, terutama yang berkaitan dengan Komite Sekolah, yang mana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016. Pasal 12 huruf b Permendikbud ini secara tegas melarang Komite Sekolah, baik secara kolektif maupun perorangan, untuk melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/wali mereka.


Selain itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010, yang diubah dengan PP Nomor 66 Tahun 2010, juga mengatur larangan pungutan di sekolah. Pasal 181 huruf d menekankan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan, baik individu maupun kelompok, dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ungkap Kepsek Jeni Banu.


Bentuk partisipasi pendanaan pendidikan dari masyarakat bisa dilakukan melalui komite sekolah, dalam bentuk sumbangan pendidikan. Dalam kenyataan di lapangan, komite sekolah cenderung salah dalam mengartikan partisipasi pendidikan tersebut. Partisipasi pendidikan yang dikehendaki oleh aturan adalah bentuknya sumbangan, bukan pungutan. Berkaca dari laporan masyarakat yang disampaikan ke Ombudsman RI, praktik pungutan kepada peserta didik yang dilakukan komite sekolah, marak terjadi. Tentunya, praktik demikian, tidak seperti yang diharapkan oleh aturan yang berlaku, karena sumbangan pendidikan merupakan pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik, orangtua/walinya baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan. Frasa "pemberian" dapat dimaknai bahwa inisiatif untuk melakukan sumbangan adalah dari si pemberi.


Pasal 12 huruf b Permendikbud nomor 75 Tahun 2016 adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Komite Sekolah, dengan tegas melarang komite sekolah, baik secara kolektif atau perseorangan melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya. Kenapa selama ini komite sekolah dikatakan melakukan pungutan, karena berdasarkan keluhan orang tua siswa, komite sekolah menentukan jumlah dan waktu pembayarannya. Esensi dari sumbangan adalah pemberian secara sukarela.


Ada mekanisme pengumpulan sumbangan yang keliru yang dimaknai oleh komite sekolah. Dalih-dalihnya sumbangan, tapi isinya pungutan. Walaupun sebenarnya sudah dilakukan pembahasan dengan orang tua atau wali peserta didik. Tetap saja, bentuknya pungutan, karena ada penetapan jumlah yang harus "disumbangkan" ke komite sekolah.


Kita sangat menyadari, tentunya sumbangan dari peserta didik atau masyarakat sangat dibutuhkan oleh sekolah. Ada biaya-biaya yang bisa yang tidak cukup dicover oleh dana BOS atau BOSDA. Oleh karena itu, partispasi masyarkat dalam bentuk sumbangan sangat diperlukan untuk menutupi kekurangan biaya yang dikeluarkan oleh sekolah. Misalnya menggaji guru honorer, pengembangan sarana prasara pendidikan, program peningkatan mutu sekolah yang tidak dianggarkan, biaya mengikuti berbagai lomba dari peserta didik, pembiayaan kegiatan operasional yang mendesak dan biaya lain-lainnya.


Namun demikian, ada rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh komite sekolah dalam melakukan penggalangan dana pendidikan, antara lain membuat proposal diketahui oleh sekolah, dibuat rekening  bersama antara sekolah dan komite sekolah untuk menampung hasil penggalangan dana, penggalangan dana tidak boleh bersumber dari perusahaan rokok dan minuman beralkohol maupun dari partai politik, serta menyampaikan laporan penggalangan dana kepada orang tua/wali peserta didik secara berkala.


Komite sekolah dituntut inovatif dan kreatif dalam melakukan pengumpulan sumbangan. Misalnya mengajukan proposal kepada perusahaan atau alumni di sekolah itu. Mengadakan event-event atau bazar amal di sekolah, mengadakan lomba-lomba, sehingga lebih mudah menggalang dana dari pihak sponsor. Upaya-upaya kreatif inilah yang dibutuhkan oleh komite sekolah.


Penggalangan dana sumbangan oleh komite sekolah, selama ini hanya berputar pada peserta didik saja. Apalagi ada keluhan, komite sekolah membebankan pungutan kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi serta peserta didik tersebut penerima bantuan Program Indonesia Pintar.


Padahal, seperti yang disampaikan di atas, Permendikbud membuka peluang komite sekolah untuk mengumpulkan sumbangan dari pihak-pihak manapun, termasuk perusahaan sepanjang dia bukan perusahaan rokok atau minuman beralkohol.


Jika merujuk Permendikbud 75 tahun 2016, komite sekolah itu kedudukannya di atas sekolah. Karena komite sekolah bertugas mengawasi pelayanan publik yang ada di sekolah. Komite sekolah juga bertugas untuk menerima dan menindaklanjuti keluhan-keluhan dari peserta didik, kemudian menyampaikannya kepada pihak sekolah. Pendeknya, komite sekolah mengawasi kinerja sekolah. Karena merupakan representasi dari peserta didik dan masyarakat.


Praktik yang terjadi selama ini, komite sekolah terkesan sebagai perpanjangan tangan dari sekolah untuk melakukan penggalangan dana. Kepala Sekolah berlomba untuk meninggalkan legacy, misalnya dengan melakukan pembangunan fisik. Memang, ada kebanggaan tersendiri bagi kepala sekolah, ketika melakukan sarana pembangunan di sekolah, harapannya bisa dikenang oleh generasi-generasi berikutnya.(*/yt)

Baca juga