Surat Edaran Walikota Kupang Terkait Membatasi Kegiatan Malam, 'Musik Wajib Berhenti, Mengundang Pro Kontra Ditengah Masyarakat

 



KUPANG;Jejakhukumindonesia.com,Surat Edaran Walikota Kupang yang membatasi kegiatan malam—musik wajib berhenti pukul 22.00 dan acara berakhir maksimal pukul 24.00—mengundang pro-kontra di tengah masyarakat. Ada yang menyambut baik sebagai upaya menjaga ketertiban, tetapi tidak sedikit pula yang menilai kebijakan itu mereduksi ruang ekspresi sosial dan budaya warga kota.


Dari sisi idealitas, kebijakan ini memiliki landasan logis. Kota Kupang bukan hanya pusat aktivitas ekonomi, tetapi juga ruang hidup bersama. Ketika kegiatan malam dibiarkan tanpa kendali, risiko gangguan keamanan, kebisingan, dan penurunan kualitas lingkungan akan meningkat. Jam istirahat masyarakat terganggu, potensi kriminalitas bertambah, dan kesehatan publik bisa terdampak. Dalam kerangka itu, kebijakan pembatasan waktu jelas bermaksud menghadirkan keseimbangan: ruang hiburan tetap ada, tetapi hak masyarakat untuk beristirahat juga terjamin.


Namun, kebijakan publik selalu diukur bukan hanya dari niat baik, tetapi juga dari bagaimana ia menyentuh realitas. Bagi pelaku usaha hiburan malam, misalnya, pembatasan ini berarti pengurangan jam operasional yang berimbas langsung pada pendapatan. Sektor ekonomi kreatif seperti musik, kafe, atau penyelenggara event juga rentan terdampak. Kota Kupang yang selama ini dikenal hidup hingga larut malam bisa kehilangan daya tariknya sebagai ruang hiburan dan pertemuan sosial.


Dalam konteks ini, perlu dipikirkan strategi kompromi. Pemerintah kota sebaiknya tidak hanya mengeluarkan aturan sepihak, tetapi juga membuka ruang dialog dengan pemangku kepentingan: pengusaha, komunitas musik, masyarakat sipil, hingga akademisi. Model kebijakan partisipatif akan menghasilkan keputusan yang lebih diterima, karena disusun bersama mereka yang terdampak langsung.


Selain itu, implementasi kebijakan perlu fleksibilitas. Acara dengan kepentingan sosial atau budaya, seperti pesta adat, perayaan keagamaan, atau konser besar yang berdampak ekonomi, tentu memerlukan pengecualian dengan mekanisme izin khusus. Jika tidak ada ruang adaptasi, kebijakan justru berisiko menimbulkan resistensi sosial yang kontraproduktif.


Di sisi lain, masyarakat juga perlu mengubah cara pandang. Kegiatan malam bukan satu-satunya bentuk ekspresi sosial. Kota bisa menghidupkan aktivitas kreatif di siang dan sore hari, sehingga dinamika ekonomi dan budaya tidak semata bergantung pada malam. Banyak kota besar mengembangkan “ekonomi siang” dan “event sore” sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dan kesehatan publik. Kupang bisa belajar dari praktik semacam ini.


Kebijakan pembatasan jam malam, bila dijalankan dengan pendekatan komunikatif dan partisipatif, sesungguhnya bisa menjadi momentum untuk menata ulang wajah kota. Kupang bukan hanya sekadar kota hiburan, melainkan juga rumah bersama yang menuntut keseimbangan antara hak individu untuk bersenang-senang dan hak kolektif untuk hidup nyaman.


Akhirnya, persoalan utamanya bukan pada jam berapa musik berhenti, melainkan pada apakah kebijakan ini benar-benar menjawab kebutuhan kota. Jika sekadar melarang tanpa menawarkan solusi, kebijakan akan terasa represif. Tetapi bila dijalankan dengan visi pembangunan kota yang berkeadilan—memadukan ketertiban, kesehatan, budaya, dan ekonomi—pembatasan ini bisa menjadi langkah maju.


Kota yang baik adalah kota yang memberi ruang bagi warganya untuk hidup dengan aman sekaligus berekspresi. Surat Edaran Walikota Kupang sebaiknya dipahami sebagai upaya mencari titik temu antara dua kepentingan itu. Yang dibutuhkan kini adalah keterbukaan, evaluasi, dan keberanian untuk menyesuaikan kebijakan sesuai aspirasi warga.


Dengan begitu, Kupang tidak kehilangan denyut malamnya, tetapi juga tidak mengorbankan hak warganya untuk beristirahat dalam damai.(*)

(Penulis: Fathur Dopong (Aktivis/ Penggiat Media Sosial)

Baca juga