- #
- #PD
- #PDUI#
- Advokat Jhon Samurwaru
- Andre Lado
- AURI
- Baksos
- Bank NTT
- Bansos
- BANTUAN HUKUM GRATIS
- BEDA BUKU
- BI
- BISNIS
- BUMN
- Cagliari Bunga
- Daerah
- DAMKAR
- DANA DESA
- DPC P3HI Kota Kupang
- DPP MOI
- Dprd kota
- DPW MOI Provinsi NTT
- EKONOMI
- ekonomi/kemasyarakatan
- ekonomi/kesehatan
- Ekonomi/kreatif
- Galis Bunga
- Herry Battileo
- HUKRIM
- HUKUM
- HUKUM.
- HUT
- HUT RI
- HUT TNI
- Imelda Christina Bessie
- Indra Gah
- KAMIJO
- Kapolda NTT
- KEAMANAN DAN KETERTIBAN
- KEBERSIHAN
- kerja sama
- Kerja sama pemkot
- KERJA SAMA PEMPROV & TNI
- KERJA SAMA PEMPROV DAN TNI
- KESEHATAN
- KESHATAN
- Ketua PMI Kota Kupang
- KOMSOS
- komsos TNI
- KOPERASI
- KUNKER
- KURBAN
- LBH SURYA NTT
- MILITER
- Miranda Lay
- MOI NTT
- NASIONAL
- NASONAL
- Oknum Guru SDI Sikumana 3
- OLARAGA
- OLARAGAH
- OPINI
- PARAWISATA
- Pelantikan MOI NTT
- pelantikan/karantina
- PEMERINTAH
- Pemkot
- PEMKOT BEDA RUMAH
- PEMKOT DAN TNI
- Pemprov NTT
- pend
- PENDIDIKAN
- Penipuan
- perhub
- PERKARA
- Perlawanan Eksekusi
- pers ntt
- peternakan
- PKK
- PKK KOTA
- PKK KOTA KUPANG
- PMI
- PMI Kota Kupang
- POLDA NTT
- POLITIK
- POLRI
- Polsek Maulafa
- pramuka
- PROFIL
- pwoin
- pwoin ntt
- PWOIN-NTT
- Ramly Muda
- Rasional
- REGIONAL
- RELIGI
- Ripiah
- Sengketa Tanah
- SERBA-SERBI
- SEREMONIAL
- TMMD
- TNI
- TNI-POLRI
- TNI/POLRI
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Masihkah Berlaku Hingga Saat Ini? Penulis: Dr. Yetursance Y. Manafe, S.T., M.T. (Koordinator Pusat Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran pada Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Nusa Cendana)
Kupang;Jejakhukumindonesia.com,Istilah pahlawan tanpa tanda jasa telah menjadi julukan abadi bagi guru dan dosen di Indonesia. Sebuah ungkapan yang tidak hanya menggambarkan peran strategis mereka dalam mencerdaskan bangsa, ketika ekosistem pendidikan bergerak dinamis, ketika Kurikulum Merdeka kini berubah nama menjadi Kurikulum Nasional, dan perguruan tinggi menerapkan Outcome Based Education (OBE) untuk menyongsong akreditasi global, muncul pertanyaan penting: masihkah gelar itu layak dipertahankan, atau harus dimaknai ulang?
Kurikulum Berganti, Beban Mengajar Tidak Pernah Berkurang
Di sekolah-sekolah, perubahan kurikulum bukan hanya perubahan istilah. Ia membawa perubahan struktur pembelajaran, pendekatan instruksional, strategi asesmen, perangkat ajar, hingga sistem pelaporan dan dokumentasi. Kurikulum Nasional menempatkan guru sebagai fasilitator pembelajaran yang harus mampu mendorong kemandirian belajar, kreativitas, kolaborasi, dan keterampilan abad ke-21.
Tetapi pada kenyataannya, guru kerap berada pada persimpangan antara cita-cita ideal dan realitas lapangan. Mereka harus mengikuti pelatihan yang intens, menyiapkan modul ajar yang sesuai, merancang pembelajaran berdiferensiasi, sekaligus mengelola kelas yang peserta didiknya datang dengan latar belakang sosial dan tingkat kesiapan belajar yang beragam.
Perubahan kurikulum sering dilakukan dengan harapan memperbaiki mutu. Namun, yang sering terlupakan adalah besarnya energi emosional, intelektual, dan administratif yang harus disiapkan guru dan dosen untuk menghidupkan kurikulum itu di ruang kelas.
Di Perguruan Tinggi, Dosen Menjadi Arsitek Pembelajaran
Di perguruan tinggi, OBE mengubah orientasi pendidikan dari apa yang diajarkan dosen menjadi apa yang mampu dilakukan lulusan. Dosen tidak lagi cukup hanya menyampaikan materi, tetapi harus:
Menyusun Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL)
Merancang Matriks Kurikulum
Menghubungkan mata kuliah dengan kompetensi profesional
Mengembangkan instrumen penilaian autentik
Menyusun rubrik penilaian kinerja
Menyediakan bukti pencapaian untuk akreditasi
Di samping itu, mereka tetap harus melakukan penelitian, publikasi, pengabdian kepada masyarakat, membimbing mahasiswa, dan menghadiri rapat-rapat yang tidak sedikit.
Namun, di balik tumpukan peran birokratis itu, masih ada satu peran inti yang tidak dapat dihilangkan: dosen sebagai pembimbing kehidupan akademik dan manusiawi mahasiswa.
Dalam percakapan singkat di koridor kampus, dalam bimbingan skripsi yang panjang, dalam dorongan kecil yang mengubah cara mahasiswa memandang kemampuannya sendiri, di sana letak pendidikan sejati berlangsung.
Mengajar Dapat Dipelajari, tetapi Mendidik Memerlukan Hati
Kita hidup di era ketika teknologi dapat menggantikan sebagian peran pendidikan. Video pembelajaran tersedia berlimpah. Platform daring menyediakan kursus dari berbagai universitas dunia. Bahkan kecerdasan buatan dapat menjawab pertanyaan secara cepat dan akurat.
Namun, teknologi hanya dapat mengajar. Ia tidak dapat membaca kegelisahan, memahami konteks emosi, atau menguatkan harga diri seseorang.
Ketika seorang murid duduk diam menahan tangis karena persoalan di rumah, teknologi tidak akan pernah mampu menawarkan sentuhan empati. Ketika seorang mahasiswa kehilangan arah, merasa gagal atau tidak yakin pada jalan hidupnya, algoritma tidak mampu menggantikan kehadiran seorang dosen yang berkata: “Kamu mampu. Kita kerjakan bersama.”
Di situlah peran pendidik menjadi lebih dari profesi, ia adalah panggilan kemanusiaan.
Makna Pengabdian Tanpa Pamrih
Makna pengabdian tanpa tanda jasa sering kali disalahpahami sebagai bentuk romantisasi profesi pendidik seolah-olah mereka dituntut ikhlas sepenuhnya tanpa boleh memperjuangkan kesejahteraan. Namun sesungguhnya, maksud utama ungkapan ini bukanlah meniadakan hak-hak pendidik, melainkan menekankan bahwa inti dari pekerjaan mereka melampaui imbalan material.
Pengabdian seorang guru dan dosen hidup dalam hasil, bukan dalam sorotan.
Dalam keberhasilan peserta didik, bukan dalam angka tunjangan.
Dalam membentuk karakter, bukan sekadar menyelesaikan jam tatap muka.
Bagi seorang pendidik sejati, penghargaan terbesar bukanlah ucapan terima kasih formal atau plakat bergrafir nama. Penghargaan terbesar adalah saat mereka melihat:
Seorang murid yang dulu pemalu kini berani berpendapat.
Mahasiswa yang dulu bingung menulis kini menghasilkan karya ilmiah.
Lulusan yang dulu penuh keraguan kini memimpin, mengajar, membangun, dan melayani masyarakat.
Mutu manusia yang tumbuh itulah yang menjadi bukti nyata pengabdian pendidik.
Pengabdian tanpa tanda jasa berarti menanam sesuatu yang tidak langsung terlihat.
Pendidik menanam gagasan, nilai moral, kesadaran kritis, dan kemampuan berpikir.
Benih itu kelak tumbuh dalam bentuk pribadi-pribadi yang kuat, mandiri, dan berkarakter.
Dan ketika seorang pendidik melihat mantan siswanya berhasil menjadi:
Perawat yang bekerja dengan empati,
Petani yang berinovasi dengan teknologi,
Guru yang kembali mengajar dengan cinta,
Dokter yang menghargai kemanusiaan pasiennya,
Pemimpin yang tidak mudah korup oleh kekuasaan,
di situlah pengabdian pendidik menemukan puncak maknanya.
Mereka tidak mungkin menagih upah dari keberhasilan itu.
Karena keberhasilan itu sendiri adalah upah yang paling berharga.
Di tengah era di mana banyak hal diukur dengan angka, pendidik tetap menjaga sesuatu yang tak pernah bisa diukur:
Kepercayaan bahwa setiap manusia bisa berkembang
Keyakinan bahwa pendidikan adalah jalan perubahan
Cinta pada keberlangsungan masa depan bangsa
Dengan demikian, pahlawan tanpa tanda jasa bukanlah mereka yang bekerja tanpa hak dan penghargaan, melainkan mereka yang menjadikan keberhasilan lulusan sebagai nilai tertinggi dari pekerjaannya.
Pengabdian mereka bukan hanya mencerdaskan, tetapi membebaskan.
Bukan hanya mengajar pelajaran, tetapi menyalakan harapan.
Bukan hanya menghasilkan lulusan, tetapi membentuk manusia yang bermartabat.
Dan selama masih ada manusia yang tumbuh karena bimbingan pendidik, maka gelar itu, pahlawan tanpa tanda jasa, akan selalu relevan.
Gelar pahlawan tanpa tanda jasa tetap relevan bukan karena pendidik tidak membutuhkan penghargaan, tetapi karena di dalam tugas mereka tersimpan nilai kemanusiaan yang mendasar:
Kesetiaan untuk hadir setiap hari meski tantangan berubah
Kesediaan memercayai potensi anak didik meski belum tampak hasilnya
Keberanian menjaga ruang kelas sebagai ruang harapan, ketika dunia sering menawarkan ketidakpastian
Sebuah bangsa tidak dibangun hanya melalui kebijakan, tetapi melalui perjumpaan manusia yang terus dipercaya dan dijaga nilainya. Dan ruang itu, sejak dulu hingga sekarang, berada di kelas.
Penutup
Selama masih ada seorang guru yang dengan sabar menjelaskan pelajaran kepada murid yang belum mengerti, selama masih ada seorang dosen yang membimbing mahasiswa menemukan jalan hidupnya,
selama itu pula gelar pahlawan tanpa tanda jasa bukan sekadar retorika, melainkan kenyataan yang hidup.
Yang perlu kita lakukan sebagai bangsa adalah memastikan bahwa para pahlawan itu tidak berjalan sendirian.
Saat ketika bangsa mengenang jasa para pahlawan yang telah mendahului, kita juga menundukkan kepala untuk menghormati pahlawan masa kini: para pendidik di seluruh penjuru Indonesia.
Mereka yang bertugas di kota-kota besar maupun sekolah terpencil.
Mereka yang mengajar di ruang kelas lengkap maupun di bangku kayu sederhana.
Mereka yang tetap tersenyum meski sering luput dari sorotan dan penghargaan.
Terima kasih, para pendidik.
Terima kasih telah menjaga api pengetahuan tetap menyala.
Terima kasih telah menyentuh hidup kami dengan kesabaran dan keyakinan bahwa setiap anak bangsa memiliki masa depan yang patut diperjuangkan.
Predikat pahlawan tanpa tanda jasa tidak pernah pudar. Justru di era disrupsi ini, ia semakin menemukan maknanya.
Selamat Hari Pahlawan untuk seluruh guru, dosen, dan pendidik Indonesia.
Teruslah menjadi cahaya yang menuntun langkah generasi penerus bangsa.
Bangsa ini tidak akan pernah kehilangan masa depannya selama para pendidiknya tetap percaya bahwa setiap anak adalah harapan.(opini)




