HEADLINE

SIDANG PERKARA DUGAAN KASUS UTANG PIUTANG KEMBALI DIGELAR DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A KAUPANG


Kupang; Jejakhukumindonesia.com,Sidang perkara dugaan kasus penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh pengusaha Windy Lay kembali di gelar di ruang Cakra pengadilan  kelas 1A Kupang.

Dugaan penipuan dan penggelapan yang dilakukan Windy Lay dikenakan dua pasal yakni perdata dan pidana. Belum diputuskan status hukum WL secara perdata dan di P21, namun WL kini telah di Tahan.

Kuasa Hukum Bernard Anin, SH menyatakan bahwa kasus ini sudah jelas utang piutang dan sudah jelas dalam UU Hak Asasi Manusia (HAM) sudah jelas, seseorang tidak bisa di bidangi karena utang piutang dan ada jalurnya bagi orang yang dirugikan karena utang piutang jika memang tidak bisa di bidangi.

" orang yang dirugikan karena utang piutang karena memang tidak bisa di bidangi, ada jalurnya yaitu jalur perdata one prestasi dan sudah ditemukan oleh  saksi pelapor itu masalahnya, kita berdasarkan UU HAM, jadi kalo klaien kami saat ini masuk penjara jika berdasarkan pendapat ahli yang tadi kita bisa sama-sama simpulkan bahwa itu melanggar HAM "pungkas Bernard 

Kuasa Hukum Bernard Anin, SH menyatakan bahwa sebenarnya perkara pidana ini sebenarnya tidak perlu  ada karena sudah di selesaikan secara perdata.

" menurut saya aturannya sudah jelas tinggal bagaimana penerapannya, sama dengan apa yang sudah disampaikan oleh ahli, sudah jelas dan tidak perlu ada penafsiran lain lagi, semoga dengan adanya ahli dua orang yang kita hadirkan ini, hakim boleh bicarakan persidangan ini boleh memutus supaya jangan sampai ada Hak Asasi dari klien kami dalam persidangan pidana  saat ini," ujar nya.

Bernard Anin menekankan bahwa" sampai dengan saat ini masih ada Komonikasi antara saksi pelapor dan pihak kami untuk adanya mediasi dan itu dimungkinkan dalam perdata, pidana ini sebenarnya sudah menggores Hak Asasi dari klien kami " tandas Bernard

Mikhael Feka, SH. MH menjelaskan bahwa dalam kasus ini lahir dari sebuah proses perdata yakni perjanjian secara lisan, dan dalam perjanjian antara krebitur dan debitur atau terdakwa dengan Yano Laymonta ( pemilik toko cay chong saat itu, pernah terdakwa membayar, jika terdakwa pernah membayar maka hal ini tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan atau penggelapan, ini murni dari tidak pidana perdataan.


" mengapa ini wan prestasi karena pernah memenuhi prestasi, dan masalah ini lahir karena ada perjanjian secara lisan dalam hukum perdata itu juga di akui, dalam sidang saya sampaikan bahwa karena ini masalah perdata dan beririsan maka berdasarkan Perma No. 1 Tahun 1956, pasal 1, perkara pidana harus di tangguhkan dulu sambil menunggu perkara perdata selesai" pungkas Mihhael 

Lanjutnya bahwa karena hal ini lahir dari perjanjian atau kontrak maka dalam ketentuan pasal 19, ayat 2, UU 39, tahun 1999 dikatakan bahwa ketidak mampuan membayar hutang tidak bisa di bayar hutang tidak bisa dikatakan  pidana. 

" nah hal itu jelas dan di atur dalam UU HAM, ini lahir antara krebitur dan debitur, nah si debitur mengambil barang dari krebitur, maka ini adalah masalah perdataan" jelas Mikhael .


Mikhael Feka menyampaikan tentang Cek  kosong jikalu sejak awal yang bersangkutan dalam hal terdakwa ini tidak pernah membayar dan hanya memberikan Cek kosong Ia katakan bahwa hal itu pidana. 


"jika terdakwa hanya memberikan Cek kosong, saya tegaskan bahwa itu pidana, dan PH menyampaikan bahwa dalam bukti dalam persidangan tadi bahwa terdakwa ini pernah membayar, artinya bahwa dia pernah membayar dan dalam perjalanan ketidak mampuan membayar itu wan prestasi namanya, kecuali sejak awal dia tidak pernah membayar sepeserpun maka itu menipu, tapi pernah membayar dan dalam perjalanan tidak mampu maka itu murni 100% perdata " jelas Mikhael Feka 


Dalam kesempatan itu pakar hukum perdata Dr. Saryono Yohanes, SH. MH menyampaikan bahwa kasus ini terletak pada rana hukum perdata yang khususnya berkaitan dengan utang piutang, dan pendekatan yang harus di gunakan tidak boleh menggunakan pendekatan pidana. 


" ini rana hukum perdata, jadi sebaiknya harus menggunakan pendekatan perdata bukan pidana, jadi Majelis Hakim harus mengikuti amanah UU tidak boleh melampaui apa yang terdapat pada UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pasal 19 ayat 2" ujar Yohanes 

Ia menguraikan bahwa seharusnya selesaikan perdata baru dilanjutkan dengan pidana, maka hal tersebut tidak bisa di balik sebagai pidana baru perdata karena akan bertangan dengan acara hukum yang berlaku dalam proses hukum di lingkungan peradilan umum khusus di pengadilan negeri. 

" mestinya mereka harus mendahului keis perdata baru kemudian keis perdata selesai baru masuk pada keis pidanya nah itulah makna yang terpenting dalam Perma No. 1 Tahun 1956, nah jangan dilakukan terbalik" jelas Yohanes 


Dr. Saryono Yohanes, SH. MH menuturkan bahwa alasan ketidakmampuan seseorang tidak bisa menjadi suatu alasan untuk dijatuhkan pidana oleh putusan pengadilan karena akan melanggar ketentuan pasal 19 ayat 2,UU Tahun 1999 tentang HAM.(hm)

Baca juga