HEADLINE

Temuan BPK: Belanja Sekretariat DPRD NTT Belum Dipertanggungjawabkan Senilai Rp.273 juta

 

KUPANG; Jejakhukumindonesia.com,Badan Pemeriksaan Keuangan RI Provinsi Nusa Tenggara Timur,  Pertengahan Juni Lalu, menyampaikan Laporan Keuangan  di Kantor Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi NTT.

Dalam laporan BPK  disebutkan bahwa Pemerintah provinsi NTT menyajikan kas di bendahara pengeluaran OPD pada neraca Per 31 Desember 2020 senilai  Rp.1.028.465.443,00 dengan rincian sebagai berikut:

1.Kas di Bendahara pengeluaran Biro Umum sebesar Rp.451.672.961,00.

 2. Kas di Bendahara pengeluaran Dinas Lingkungan Hidup Dan Kehutanan sebesar  Rp.110.007.495,00.

3. Kas di Bendahara Pengeluaran Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa sebesar Rp.106.811.801,00.

4. Kaas di Bendahara Pengeluaran Dinas Pertanian Dan Ketahanan Pangan Sebesar Rp.19.201.795,00.

5. Kas di Bendahara Pengeluaran Satuan Polisi Pamong Praja sebesar Rp.77.729.643,00

6. Kas di Bendahara pengeluaran Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebesar Rp.263.041.748,00


Total dari Jumlah pengeluaran   dalam hitungan BPK yakni sebesar Rp.1.028.465.443.

"Bedasarkan hasil pemeriksaan terhadap dokumen pembukuan dan pertanggungjawaban serta pengujian fisik kas di bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD (Setwan NTT) diketahui terdapat dua mekanisme pengeluaran kas tunai dari bendahara pengeluaran setwan yakni mekanisme kas bon dan panjar," tulis BPK.

"Mekanisme kas bon merupakan mekanisme pengeluaran kas tunai tanpa kwitansi sebagai bukti transaksi pengeluaran, terlepas dari jenis belanja. Sedangkan mekanisme uang panjar merupakan mekanisme pengeluaran kas tunai dengan kwitansi sebagai bukti transaksi," lanjutnya.

Berdasarkan uji petik dokumen transaksi yang terjadi pada tahun anggaran (TA) 2020, demikian BPK, dengan membandingkan Buku Kas Umum (BKU)dengan SPJ, diketahui bahwa terdapat selisih antara yang tercatat di SPJ hard coppy perjalanan dinas Rp.46.543.917.522,00.

 "Dengan yang tercatat di BKU SIPKD Rp.46.817.734.391,00 senilai Rp.273.816.869,00 yang tidak dapat dijelaskan oleh bendahara pengeluaran," terang BPK.

Menurut BPK, kondisi tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang      Perbendaharaan Negara, pada 1.Pasal 18 ayat (2) yang menyatakan bahwa, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berwewenang:

Pertama, menguji kebenaran material surat-surat bukti mengenai hak pihak penagih;

Kedua, meneliti kebenaran dokumen yang menjadi per-syaratan/kelengkapan sehubungan dengan ikatan/perjanjian pengadaan barang/jasa;

Ketiga, meneliti tersedianya dana yang bersangkutan;

Keempat, membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran pengeluaran yang bersangkutan; dan

Kelima, memerintahkan pembayaran atas beban APBN/APBD;

Selanjutnya, Pasal 21 pada :

Aayat (3) yang menyatakan bahwa Bendahara Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang persediaan yang dikelolah-nya setelah :

Pertama, meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;

Kedua, menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah pembayaran; dan

Ketiga, menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;

Juga pada ayat (4) yang menyatakan bahwa Bendahara pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran apabila persyaratan pada ayat (3) tidak dipenuhi; dan

pada ayat (5) yang menyatakan bahwa, Bendahara Pengeluaran bertanggungjawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakannya.

Juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pada pasal 19 ayat (2) yang menyatakan bahwa, Bendahara Pengeluaran Memiliki tugas dan wewenang :

Pertama, mengajukan permintaan pembayaran menggunakan SPP UP, SPP GU, SPP TU, dan SPP LPS

Kedua, menerima dan menyimpan UP, GU dan TU;

Ketiga, melaksanakan pembayaran dari UP, GU, dan TU yang dikelolah-nya;

Keempat, menolak perintah bayar dari PA yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undang; dan

Kelima, meneliti kelengkapan dokumen pembayaran.

Juga pada Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penatausahaan, Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara Dan Penyampaiannya, serta Penerbitan Surat Perintah Membayar dan Surat Perintah Pencairan Dana TA 2017 pasal 9 ayat 4 yang menyatakan bahwa, Dokumen yang digunakan oleh Bendahara Pengeluaran dalam Pembukuan Pengeluaran Permintaan Pembayaran mencakup :

  1).Buku Kas Umum;

  2).Buku Pembantu Simpanan/Bank;

  3).Buku Pembantu Pajak;

  4).Buku Pembantu Panjar;

  5).Buku Pembantu Rekapitulasi Pengeluaran per rincian objek;

  6).Register SPP-UP/GU/TU/LS;dan

  7).Buku Pembantu Kas Tunai;

"Kondisi tersebut mengakibatkan potensi kelebihan pembayaran atas barang dan jasa. Kondisi tersebut disebabkan oleh, Sekretariat DPRD selaku PA tidak tertib dalam melakukan pengawasan dan pengendalian terkait pengelolaan keuangan yang menjadi wewenang dan tanggungjawab PA, Bendahara Pengeluaran tidak melakukan pembukuan dan penatausahaan pengeluaran uang berupa Buku Pembantu Panjar dan tidak tertib dalam meneliti kelengkapan dokumen pembayaran," jelas BPK.

Atas permasalahan tersebut, menurut BPK, Pemerintah Provinsi NTT menyatakan bahwa menerima temuan tersebut dan akan lebih tertib dalam melakukan administrasi pertanggungjawaban untuk tahun-tahun berikutnya serta akan menindaklanjuti semua rekomendasi BPK.

"BPK merekomendasi Gubernur NTT untuk menginstruksikan sekretaris DPRD selaku PA untuk melengkapi SPJ perjalanan dinas yang belum dipertanggungjawabkan," tutup BPK dalam laporannya.(hm)

Baca juga