HEADLINE

HAKIM PN JAKARTA PUSAT MELAMPAUI BATAS KEWENANGANNYA MEGADILI PERKARA PMH SECARA PERDATA ANTARA PARTAI PRIMA MELAWAN KPU RI ,Dr.Nicholay Aprilindo B.,S.H., M.H.,M.M.

JAKARTA;Jejakhukumindonesia.com,Saat ini sedang ramai di kalangan publik dari Sikap Pemerintah, sikap akademisi,  pakar hukum Tata Negara dan Administrasi Negara perihal Putusan Tingkat Pertama dalam perkara Perdata Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jakarta Pusat antara Partai PRIMA melawan KPU RI. Dimana keputusan Majelis Hakim yang mengadili Perkara Perdata tersebut mengeluarkan Putusan yang sangat "Kontroversial" melampaui batas kewenangan mengadilinya, tanpa mempertimbangkan dampak Politis, Sosiologis dan dampak Hukum dari Putusan yang diambil, sehingga dapat menimbulkan kegaduhan politik, instabilitas politik, hukum, ekonomi dan keamanan, karena demi kepentingan politik satu partai yaitu Partai PRIMA mengorbankan kepentingan politik, hukum, ekonomi dan keamanan didalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam penyelenggaraan PEMILU yang telah diatur didalam konstitusi UUD 1945 dan UU PEMILU. Ini sangat berbahaya apalagi bila "ditunggangi" kepentingan politik tertentu yg menginginkan tertundanya PEMILU 2024 dan instabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara serta kehidupan alam Demokrasi sesuai cita-cita Reformasi 1998 dan cita-cita kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.


Bahwa putusan majelis Hakim yang mengadili Perkara Perdata tersebut diluar ekspetasi dan kewenangan mengadili berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, untuk itu perlu dilakukan upaya hukum atas putusan tersebut dengan alasan-alasan hukum sebagai berikut :


1. Putusan PN (Tingkat Pertama) yang sangat aneh krn memuat kekuatan eksekutorial yang tidak lazim, dan oleh karena Gugatan Perdata dan Pengadilan yang mengadili merupakan peradilan Perdata biasa karena adanya PMH yg menurut Penggugat (Partai PRIMA) dilakukan oleh Tergugat (KPU).

Untuk itu maka terhadap putusan Majelis Hakim tersebut dapat dilakukan upaya hukum terhadap putusan tersebut, walaupun didalam amar putusan mengadili dalam pokok perkara butir ke-6 tsb disebutkan :

*"Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)*; 

namun tidak menutup upaya hukum lain dalam tingkat banding maupun kasasi, karena putusan Perdata PN Jakarta Pusat tsb. Tidak dalam kategori putusan yang berketetapan mempunyai kekuatan mengikat secara menyeluruh atau *"Final and Binding"* Putusan tsb hanya mengikat kedua pihak yg bersengketa (Partai Prima dan KPU) shg. KPU dapat melakukan upaya hukum berupa Banding sampai pada tingkat Kasasi.

Dan putusan tersebut tidak mempengaruhi tahapan Pemilu seperti yg telah ditetapkan UU Pemilu No.7 tahun 2017, beserta Keputusan KPU No.21 tahun 2022 dan Keputusan KPU No. 3 tahun 2022, serta Konstitusi Pasal 22 E UUD 1945.


2. Majelis hakim sangat obscur dan melampauo batas kewenangannya dalan membuat putusan dalam perkara tersebut, karena gugatan yang dilayangkan Partai PRIMA adalah gugatan perdata PMH berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata (BW), yakni gugatan perbuatan melawan hukum biasa bukan dalam hal Perjanjian.

Artinya keputusan tsb. hanya mengikat para pihak yg berperkara, tidak mengikat semua orang (erges ormes).


3. Oleh karena Hakim PN. Pusat yang mengadili Perkara Perdata Partai Prima vs KPU sudah melampaui batas kewenangannya atau kompetensinya, maka secara logika hukum :


1. Sengketa yang terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu sudah diatur tersendiri dalam hukum dan UU PEMILU No.7 tahun 2017.


3. Didalam Padal 134 HIR *"Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan Pengadilan Negeri maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta supaya Hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan Hakimpun wajib mengakuinya karena jabatannya"* hal tersebut menyangkut Kompetensi mengadili yang dibagi relatif berdasarkan Pasal 118 HIR dan kewenangan Absolut *(attributie van rechtsmaght)* yang diatur didalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Padal 18 UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Bila melihat gugatan dari Partai PRIMA melawan KPU RI tersebut adalah sengketa atas keputusan pejabat Tata Usaha Negara (KPU) sehingga kompentensinya berada pada Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), bukan di Pengadilan Negeri. 

Demikian halnya bila terjadi sengketa sebelum pelaksanaan pemilu (pencoblosan) jika terkait proses admintrasi yang memutus adalah Bawaslu berdasarkan  UU PEMILU No. 7 tahunn2017 yang juga mengatur tentang Tugas, Wewenang dan Kewajiban Bawaslu.

Apabila pokok persoalan soal keputusan kepesertaan parpol dalam pemilu hanya bisa digugat ke PTUN. 


4. Khusus untuk Partai PRIIMA sdh pernah mengajukan gugatan tersebut di BAWASLU dan kalah sengketa di Bawaslu, demikian pula sudah pernah mengajukan gugatan di PTUN dan sdh kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi dalam proses pemilu sebelum pemungutan suara, 5. Bahwa apabila sengketa tetsebut setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka yang  menjadi kompetensi adalah Mahkamah Konstitusi (MK). 


6. Bahwa kompetensinya Pengadilan Negeri tidaklah diatur didalam UU untuk mengadili Perbuatan Melawan Hukum secara perdata terhadap keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh KPU dalam hal PEMILU, dan tidak bisa dijadikan obyek sengketa secara perdata terhadap KPU dlm proses dan pelaksanaan pemilu.


7. Bahwa Hukuman penundaan pemilu beserta semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan dalam oleh PN sbg kasus PMH secara Perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Secara perdata.


8. Bahwa berdasarkan UU PEMILU No.7 Tahun 2017, tentang penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sbg alasan spesifik, tidak untuk seluruh Indonesia, dengan alasan bila di daerah yg sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan, dan bukan berdasar putusan  Pengadilan Negeri secara Perdata, akan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu.


9. Bahwa putusan PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi, karena tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat pada semua orang *(erges ormes)* dan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dalam artian *"Final & Binding"*, sehingga dapat dilakukan perlawanan secara hukum melalui upaya hukum banding sampai pada kasasi. 


10. Secara Sosiologis rakyat dapat melakukan perlawanan hukum maupunnperlawanan secara politis, dikarenakan kedaulatan ada ditangan rakyat secara keseluruhan dan hak diadakan pemilu berdasarkan konstitusi UUD 1945 adalah hak politik dan hak keperdataan rakyat secara absolut.

Oleh karenanya bila ada upaya-upaya untuk mensiasati terjadinya penundaan PEMILU berdasarkan UU yang berlaku  dan berdasarkan Pasal 22 E UUD 1945, itu adalah INKONSTITUSIONAL dan melawan kehendak rakyat serta melawan Hak Azasi Demorasi Rakyat.(*)

Penulis adalah Aktivis & Advokat Politik Hukum & Keamanan serta HAM.

Baca juga