HEADLINE

Diduga Ada Kriminalisasi, JPU Hanya Tuntut PPK, Sedangkan Kontraktor Dibiarkan Bebas

Kupang;Jejakhukumindonesia.com,Kejadian aneh dan miris terjadi dalam kasus Pembangunan Puskesmas Wairiang di Bean, Kecamatan Omesuri  senilai Rp 5.981.353.000) dan Puskesmas Balauring di Wowon, Kecamatan Buyasuril senilai Rp 5.944.072.471 di Kabupaten Lembata pada tahun 2019. Kontraktor Pelaksana, Jorhansyah sebagai Direktur CV. Lembah Ciremai (seharusnya menjadi pelaku utama tindak pidana korupsi, red) yang mengerjakan 2 proyek tersebut dibiarkan bebas ‘berkeliaran’ alias tidak ditahan/tidak didakwa dan tidak dituntut melakukan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Tipikor Kupang. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Lembata hanya mentersangkakan, menahan, mendakwa dan menuntut Penjabat Pembuat Komitmen, PKTM, ST (46 tahun), sebagai pihak yang turut melakukan tindak pidana korupsi dengan pidana Penjara (jika ditotal, red) selama 12 tahun.


Demikian salah satu kejanggalan yang diungkapkan Tim Penasehat Hukum (PH) terdakwa, yakni: 1. Advokat Decky Lay, SH; 2. Advokat Charles Primus KIA, SH; dan 3. Advokat Hironimus Joni Tulasi, SH dari Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Charles Primus Kia, SH dan Rekan dalam Pledoi (Nota Pembelaan) yang disampaikan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Kupang pada Rabu (29/3/2023).


Menurut Tim PH, salah satu kejanggalan dalam dakwaan JPU adalah Terdakwa PKTM  didakwa turut serta melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 2 ayat (1)  Jo. Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (primair). 


Sedangkan dakwaan subsidairnya, JPU mendakwa kliennya dengan Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun fakta dalam persidangan, Terdakwa hanya didakwa secara sendirian (Pelaku Tunggal) dalam persidangan perkara (1) Puskesmas Balauring dan (2) Puskesmas Wairiang.


“Dalam Surat Dakwaan hanya Terdakwa Petrus Kanisius Talele Mudapue, S.ST., didakwa sendiri (tunggal) dan tidak ada pemisahan berkas perkara (splitzing),” jelas Tim PH dalam Pledoi (Nota Pembelaan, red).


Menurut Tim PH dalam kedua Pledoinya (pada Perkara Puskesmas Balauring dan Wairiang, red) seharusnya Kontraktor Jorhansyah selaku kontraktor pelaksana (Direktur CV. Ciremai) dan Pengguna Anggaran, LSGA juga ikut didakwa dan dituntut secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi (karena berkas perkaranya tidak dipisahkan/displitzing, red). Namun dalam kedua perkara tersebut, JPU hanya mendakwa kliennya telah melanggar Pasal 2  ayat (1) Jo. Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana (dakwaan primair) dan Pasal 3 UU Tipikor Jo. Pasal 18 KUHPidana (dakwaan subsidair).


Tim PH mengungkapkan, penetapan tersangka terhadap Direktur CV. Lembah Ciremai, Jorhans baru dilakukan pada tanggal 08 Maret 2023. “Status Tersangka (terhadap Direktur Lembah Ciremai, red) bukan delik penyertaan sebagai TERDAKWA yang lain dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut,” tandas Tim PH.

Tim PH menjelaskan, penerapan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menurut Keterangan Ahli Hukum Pidana, Dr. Sinurat, SH., MH., harus sekurang-kurang ada 2 (dua) orang terdakwa. “Dikaitkan dengan teori dualistis, pertanggungjawaban pidana berdasarkan peranan masing-masing pelaku materiil atau pelaku turut serta yang lain terhadap lamanya pidana penjara dan pengembalian kerugian negara,” ujar Tim PH.


Berdasarkan informasi dan data yang dihimpun Tim Media, kedua perkara tersebut bermula ketika CV. Lembah Ciremai yang beralamat di Bogor Jawa Barat memenangkan tender Pembangunan Puskesmas Wairiang di Bean pada tanggal 25 Juni 2019. CV. Lembah Ciremai juga memenangkan tender Pembangunan Puskesmas Balairung d Wowon pada tanggal 3 Juli 2019. 


Penadatanganan kontrak Puskesmas Balauring dilakukan 10 Juli 2019 dengan Nomor: 07.02/SP.KONTRAK-P.BALAURING/Dinkes/VII/2019, senilai 5.944.072.471  Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) dikeluarkan PPK tanggal  12 Juli 2019. Waktu pelaksanaan selama 150 hari kalender hingga 9 Desember 2019.


Sedangkan Kontrak Puskesmas Waitiang di Bean ditandatangani pada tanggal 28 Juni 2019 dengan Nomor: 01.02/SP.KONTRAK-P.Wairiang/Dinkes/VI/2019. Waktu peksanaan selama 128 hari kalender hingga 28 November 2019.


Dalam pelaksanaan kedua proyek tersebut CV. Lembah Ciremai mengalami keterlambatan pelaksanaan pekerjaan dengan berbagai alasan, antara lain perubahan lokasi pembangunan, kelangkaan semen dan Pandemi Covid-19. Karena itu PPK mengambil kebijakan adendum CCO (Change Contract Order) dan perpanjangan waktu pelaksanaan. Namun CV. Lembah Ciremai dapat melaksanakan fisik pekerjaan kedua Puskesmas tersebut hingga 85 persen. Sehingga PPK melakukan pembayaran termin II sebesar 80 persen dari kedua proyek tersebut.


Ketika fisik kedua proyek tersebut mencapai 95 persen, dilakukan PHO (Purchising Hand Over/Serah Terima Pertama) dari CV. Lembah Ciremai kepada PPK dengan sejumlah catatan perbaikan kekurangan volume pekerjaan/cacat mutu yang harus diperbaiki kontraktor pelaksana. Walaupun demikian kedua Puskesmas tersebut telah digunakan oleh Pemkab Lembata untuk pelayanan masyarakat di saat Pandemi Covid-19.


CV. Lembah Ciremai pun mengajukan permohonan pembayaran 100 persen namun ditolak PPK dengan alasan perusahaan tersebut belum melakukan perbaikan terhadap temuan pemeriksaan Tim PHO pada kedua Puskesmas tersebut. Dana proyek yang masih ditahan PPK sebesar 20 persen dari masing-masing proyek dengan total lebih dari Rp 2 Milyar.


CV. Ciremai lalu melaporkan dugaan penipuan ke Polres Lembata karena PPK tidak membayar sisa proyek tersebut. Namun laporan penipuan dioetuedjan okeh Polres Lembata karena masalah tersebut merupakan wanprestasi yang menjadi ranah sengketa hukum perdata antara kedua bela pihak. Kemudian, perusahaan dari Bogor ini  melakukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Lewoleba. Namun saat memasuki sidang ketiga, mediasi kedua pihak dinyatakan gagal, PPK ditetapkan sebagai Tersangka dan ditahan oleh penyidik Kejari Lembata. Padahal proses Gugatan Perdata CV. Lembah Ciremai sedang berjalan.


Pada Oktober 2021, dilakukan pemeriksaan oleh tim pemeriksa dari Politeknik Negeri Kupang (berdasarkan permintaan Kejari Lembata, red) pada realisasi fisik pekerjaan mencapai 85 persen. Di Puskesmas Balauring, ditemukan kekurangan volume/cacat fisik sekitar Rp 156 juta dan di Wairiang sekitar Rp 550 juta. Nilai temuan ini menjadi besar karena tim pemeriksa menganggap kekurangan volume per item pekerjaan sebagai total lost (kerugian total, red) sehingga menghitung kekurangan volume suatu item pekerjaan sebagai total kerugian keseluruhan  item pekerjaan tersebut. Padahal Tim Pemeriksa Politeknik Negeri Kupang tersebut tidak memiliki Sertifikasi Ahli dari Kementerian PUPR RI.


Selain menemukan kekurangan volume/cacat fisik pekerjaan, tim pemeriksa Politeknik Negeri Kupang juga menghitung denda keterlambatan ‘seenak perut sendiri’. Di proyek Puskesmas Balaiuring, Tim Politeknik Negeri Kupang menghitung denda keterlambatan sekitar Rp 2,7 M. Sedangkan denda keterlambatan proyek Puskesmas Wairiang sekitar Rp 466 juta

Tim Politeknik Negeri Kupang menghitung seluruh adendum perpanjangan waktu sebagai denda. Alhasil denda keterlambatan  membengkak hingga sekitar Rp 2,7 M pada proyek Puskesmas Balaiuring atau sekitar 50-an persen dari nilai proyek (setelah dipotong pajak, red). Padahal sesuai aturan, denda maksimal hanya sebesar 5 persen dari nilai proyek (setelah dipotong pajak, red).


Berdasarkan hasil pemeriksaan Tim Politeknik tersebut, penyidik Kejari Lembata menghitung sendiri kerugian negara yang katanya dikuatkan dengan keterangan Ahli Akuntan Publik, I Wayan Ramantha (dalam memberikan keterangan tidak di bawah sumpah dan tidak hadir dalam persidangan, red).


Padahal sesuai aturan, satu-satunya lembaga negara yang berhak melakukan Perhitungan Kerugian Negara (PKN) adalah BPK RI (atau setidaknya BPKP, red). Sedangkan perhitungan PKN oleh lembaga lain, harus di declare oleh BPK RI./Tim)

Baca juga