HEADLINE

Indonesia Harus Bertindak Ambil Kembali Gugusan Pulau Pasir Dari Australia Melalui Arbitrase, Oleh : Prof. Yusuf Leonard Henuk,Ph.D (Dosen Tetap di STT SETIA Jakarta)



KUPANG;Jejakhukumindonesia.com,Media ini pernah heboh didunia dimasa lalu setelah diterbitkan berita dari penulis berjudul “Pulau Pasir Milik Orang Rote” (PK, 20/11/2006:6). 


Setelah itu banyak berita mempersoalkan berita ini termasuk Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia membantah hingga kini membela Australia dengan menyatakan Pulau Pasir milik Australia yang didasarkan pada Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang dibuat oleh Pemerintah Otoritarianisme RI (Orde Baru) dan Pemerintah Australia pada tanggal 7 November 1974. Kini polemik berkepanjangan antara masyarakat NTT terkait kepemililkan Pulau Pasir dengan Pemerintah Australia yang didukung penuh oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia sejak kepemimpinan Presiden Soeharto telah berakhir di kepemimpinan Presiden Jokowi setelah disahkannya UU Landas Kontinen yang merujuk kepada UNCLOS 1982 oleh DPR RI pada tanggal 13 April 2023. 


Penulis atau telah lama di kenal Prof.YLH menyambut baik telah disahkannya UU Landas Kontinen lewat menurunkan tulisannya di Twitter pada tanggal 15 April 2023 berjudul: “Indonesia must act to regain its rights to the Sand Island cluster from Australia (Indonesia harus bertindak untuk mendapatkan kembali hak atas Pulau Pasir dari Australia). 


Dalam tulisan ini, Prof.YLH menyatakan bahwa semua orang Rote di NTT harus berberbahagia, karena Prof.YLH sudah pasti berada di garda depan sebagai Caleg Anggota DPR RI dari Dapil NTT 2 (Timor, Rote, Sabu, Sumba) untuk berjuang keras agar “Nusa Solokaek” atau Pulau Pasir yang sudah lama dicaplok Australia sejak tahun 1974 bisa diambil kembali oleh Indonesia. 


Sudah tidak diragukan lagi berdasarkan Pasal 76 UNCLOS 1982, Indonesia berhak kuasai gugusan Pulau Pasir, karena gugusan Pulau Pasir di Laut Timor terletak sejauh 320 km dari Pantai Barat-Utara Australia, namun hanya berjarak 140 km di sebelah selatan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.


Berdsarkan sejarah sebelum zaman kolonial, gugusan Pulau Pasir, yang kini disebut Ashmore Reef, sebenarnya merupakan bagin integral bangsa Indonesia. Klaim itu diindikasikan dengan banyaknya nelayan tradisional Indonesia yang sudah sejak lama beroperasi di sekitar gugusan Pulau Pasir sampai ke daratan Broome, Australia Barat, untuk mencari ikan. 


Disamping itu juga terdapat kuburan-kuburan para leluhur Rote berjumlah sekitar 161 kubur. Sekitar gugusan Pulau Pasir juga bisa dijadikan sebagai lokasi beristirahat para nelayan setelah semalam suntuk menangkap tripang dan ikan dikawasan perairan gugusan Pulau Pasir serta gugusan Pulau Pasir sering digunakan sebagai tempat transit oleh neleyan-nelayan Indonesia dari kawasan lain ketika mereka berlayar jauh ke selatan Indonesia melewati perairan sekitar Pulau Rote. 


Namun, semenjak dilakukan nota kesepahaman (MoU) antara Indonesia dan Australia pada tahun 1974, Australia justru langsung mengklaim bahwa gugusan Pulau Pasir itu miliknya, sehingga sangat merugikan Indonesia. Lahirnya MoU ini memperkuat Australia untuk mengklaim batasnya dengan Laut Timor terlalu jauh memasuki bibir pantai Pulau Timor, sehingga menyebabkan 70% kandungan isi Laut Timor menjadi milik Australia. 


Kerugian besar ini menimpa semua warga negara Indonesia yang mendiami Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu serta Rote Ndao. Namun, MoU 1974 antara RI Australia yang telah dibuat pada tanggal 7 November 1974 bukanlah sebuah perjanjian tentang batas kedaulatan RI-Australia, melainkan hanya sebuah MoU biasa yang mencoba mengatur tentang hak-hak nelayan tradisional Indonesia yang beraktivitas di Laut Timor sejak 450 tahun silam jauh sebelum Australia terbentuk menjadi negara Federal Australia. 


Pembatalan Semua Perjanjian Bilateral RI-Australia Tidak Diratifikasi Sejarah mencatat, perundingan bilateral RI-Australia terkait Laut Timor, terdiri dari lima tahap. Pertama, Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf”, atau yang dikenal MoU Box 1974–mengatur tentang hak dan kewajiban nelayan tradisional, ketentuan penangkapan ikan, dan ketentuan lainnya di Gugusan Pulau Pasir pada 7 November 1974. Kedua, “Memorandum of Understanding between the Republic of Indonesia and the Government of Australia Concerning the Implementation of Provisional Fisherries Surveillance and Enforcement Arrangement” atau yang disebut kesepahaman sementara antara kedua negara dalam implementasi pengawasan daerah perikanan dan tindak lanjut dari perjanjian 1974. Ketiga, pada tanggal 2 Maret 1989 para pejabat yaitu Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas dan Senator Luar Negeri Australia Gareth Evans mendiskusikan dan membahas tentang aktivitas kapal dan nelayan RI di daerah perikanan Australia (Australian Fishing Zone: AFZ) mulai dari Pantai Barat Australia sampai pada Laut Arafura serta kawasan perairan antara Pulau Jawa dan Pulau Christmas. Keempat, “Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Australia and Indonesia on Fisheries” atau yang disebut kesepakatan pertemuan yang disetujui antara pejabat Australia dan Indonesia pada daerah perikanan pada tanggal 28 April 1989. 


Kelima, pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth, Australia dilaksanakan perjajian kesepakatan tentang penetapan batas ZEE dan batas-batas laut tertentu serta tidak mengurangi hak tradisional nelayan Pulau Rote untuk menangkap ikan di Gugusan Pulau Pasir. 


Perjanjian Perth 1997 ini yang dikenal dengan Perjanjian Kerjasama RI-Australia tentang ZEE dan batas-batas dasar laut tertentu di Laut Timor dan Laut Arafura, tercakup pula didalamnya Gugusan Pulau Pasir hingga saat ini belum diratifikasi. 


Perjanjian yang hanya berisi 11 pasal tersebut dengan jelas menyatakan (Pasal 11) bahwa: “Perjanjian ini harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran piagampiagam ratifikasi”, akan tetapi Indonesia sendiri belum meratifikasi perjanjian ini dalam hukum internalnya, sehingga semua perjanjian yang telah dibuat kedua negara tetangga di masa lalu secara praktis sudah tidak berlaku sama sekali. 


Gugusan Pulau Pasir Harus Diambil Kembali Dari Australia Melalui Arbitrase Setelah RUU Landas Kontinen telah disahkan menjadi oleh DPR RI merujuk ke UNCLOS 1982 pada tanggal 13 April 2023 membuka peluang penyelesaian kasus kepemilikan bisa dilakukan baik melalui pengadilan maupun diluar pengadilan. 


Hal ini juga sesuai dengan apa yang tercantum dalam UNCLOS 1982. Kasus Sipadan-Ligitan dapat dijadikan dasar sebagai pedoman agar Indonesia dapat memenangkan kasus ini. 


Media terbaik untuk menyelesaikan kasus ini adalah arbitrase, karena selain untuk menghemat biaya, proses arbitrase tidak memakan waktu yang telalu lama, dan memiliki keputusan yang bersifat mutlak dan mengikat. Dalam artikel ilmiah berjudul “The Pasir Island Ownership Dispute between Indonesia and Australia Perspective from the Aspects of State Defence” (RES MILITARIS, Vol. 13(2), January 2023: 4179-4188), Widodo et al. (2023: 4182) mengutip 6 poin penting yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia untuk memenangkan kasus ini di Mahkamah Internasional didasarkan pada buku dari Prof. Yusuf Leonard Henuk, Ph.D terbitan tahun 2008, berjudul: Pulau Pasir: Nusa Impian Orang Rote -- Pasir Island: Dream Island of Rotenese People. Ke-6 poin penting adalah sebagai berikut: (1) Surat tercatat Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1751 yang membuktikan bahwa Gugusan Pulau Pasir telah dikelola oleh masyarakat Rote di Nusa Tenggara Timur (NTT) selama empat ratus tahun sejak tahun 1500; (2) Nelayan Indonesia telah mencari ikan, teripang dan biota laut lainnya di sekitar Pulau Pasir didukung oleh Profesor James Fox dari Australia, yang menyatakan bahwa sebenarnya ada klaim yang dinyatakan atas Ashmore Reef oleh penguasa Rote pada tahun 1740-1745, terkait dengan hak atas ikan di dalamnya di daerah tersebut, dan bahwa klaim dan praktik penangkapan ikan ini terus berlanjut tanpa henti hingga kini, setidaknya hingga tahun 1997. Prof. Fox juga menyarankan bahwa penangkapan ikan orang Rote di daerah Ashmore Reef terkait dengan kepentingan di daerah yang sama oleh orang Bajau. 


Kapten Mattew Flinders dari kunjungannya tahun 1803 ke Kupang dengan Kapal H.M.S.Endeavour, menyatakan bahwa penduduk asli Makassar sudah lama terbiasa mencari ikan teripang di antara pulau-pulau di sekitar Jawa terbentang hingga selatan Pulau Rote, (3) Dr. Ruth Balinth (2005) juga dari Australia melaporkan bahwa pengunjung Rote awal ke Pulau Pasir menanam pohon kelapa untuk menyediakan persediaan dan bahan yang berguna dan untuk menandai lokasi sumur terbaik di Pulau Pasir. 


Mereka juga membangun pagar batu rendah dekat air laut sebagai perangkap ikan. Satu orang akan mengocok daun kelapa di sisi terbuka perangkap untuk mencegah ikan lolos, sementara yang lain akan membuang parutan kelapa ke dalam air dan minyak kelapa disebar ke permukaan air laut sehingga membuat air laut menjadi jernih, sehingga para lelaki dapat dengan mudah melihat dan menombak ikan. 


Makam orang Rote di Pulau Pasir adalah 161 buah bagi para nelayan yang gagal dalam perjalanan pulang,vmenjadi korban penyakit atau kecelakaan dalam perjalanan ke gugusan Pulau Pasir, (4) Pulau Pasir milik kerajaan Rote dan sejak abad ke-15 berada di bawah pengelolaan Hindia Belanda. 


Hal ini dapat dibuktikan melalui prasasti Raja Thie ke-5 (FOEH MBURA:1729 - 1744) di Pulau Pasir yang dibuat ketika Raja ini menemukan Pulau Pasir pada tahun 1729, sedangkan Kapten Samuel Ashmore dari Inggris melihat Pasir Pulau pada tahun 1811. 


Oleh karena itu, Pulau Pasir sudah menjadi milik orang Rote jauh sebelum kedatangan Kapten Ashmore dari Inggris, (5) Kedekatan wilayah Pulau Pasir dengan Pulau Rote, Indonesia. 


Berdasarkan alasan tersebut, maka jarak dari Pulau Rote ke Pulau Pasir hanya 78 mil laut yang mereka klaim sebagai halaman belakang rumah mereka, sedangkan jarak dari Pantai Barat Australia adalah 190 mil; dan (6) Putusan Mahkamah Internasional mengenai Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan yang memenangkan Malaysia, karena Penduduk Malaysia terbukti melakukan kegiatan secara terus-menerus di kedua pulau tersebut (*).

Baca juga