HEADLINE

Kasus Penganiayaan di Desa Rafae Kecamatan Raimanuk Kabupaten Belu Belum Kunjung P 21, Jaksa Diduga tidak Profesional


Belu;Jejakhukumindonesia.com,Kasus penganiayaan yang menimpa Fandem Dapatalu yang terjadi pada 6 Oktober lalu di Desa Rafae, Raimanuk diduga mengendap di Kejaksaan Negeri Atambua. 


Ma Putra Dapatalu, Kaka Kandung Korban menuding jaksa yang menangani kasus ini tidak profesional.


Sebab, menurut Putra, kasus ini termasuk dalam kategori pidana umum akan tetapi hingga saat ini belum kunjung juga dilimpahkan ke Pengadilan.


Menurut Putra, Jaksa yang memeriksa berkas perkara ini meminta petunjuk tambahan berupa Video dan Foto saat kejadian serta rekonstruksi.


"Ini kan kasus pidana umum bukan pembunuhan atau pemerkosaan dan harus ada rekonstruksi," kata Putra di Kupang, Senin 29 Januari siang.


Adapun kronologis kejadian menurut Putra berawal saat Tanggal 5 Oktober korban di undang pesta di Desa Rafae  Raimanuk.


"Dalam perjalanan pesta  sekitar jam 3 pagi adik saya dipukul oleh orang tidak di kenal. Jam 6 pagi dia pulang ke rumah dan pergi ke RSUD Atambua untuk visum dan buat Laporan Polisi di Polres Atambua," ujar Putra.


Kemudian, kata Putra, Polres melimpahkan ke Polsek Raimanuk untuk dimintai keterangan tambahan.


Polisi, demikian Putra kemudian membenarkan kejadian itu dan pelaku kemudian diketahui atas nama Rio Costa.


Menurut Putra, Bulan Desember pelaku diminta untuk pergi ke keluarga korban untuk minta jalur damai.


"Tanggal 2 Desember pelaku ditangkap dan ditahan di Polres Belu," ujarnya.


"Kemudian mama kandung pelaku datang rumah untuk minta maaf. Orang tua saya memberikan denda sesuai sengan adat istiadat di sana. Setelan itu orang tua pelaku langsung menghilang sampai saat ini," tukasnya.


Kemudian, pada Bulan Januari jaksa atas nama Resa meminta penyidik untuk membawa bukti tambahan video pada waktu kejadian.


Mengenai proses hukum sebenarnya, menurut Putra pelaku punya keluarga juga minta porses supaya cepat.


"Jaksa minta di penyidik bahwa kasus ini tidak bisa naik karena kekurangan alat bukti," ujar Putra.


"Harus ada bukti video dan foto sedangkan setahu saya rekonstruksi hanya ada di kasus besar lain," kata dia lagi.

Jaksa yang memeriksa berkas perkara penganiayaan ini audah dimintai konfirmasi oleh Voxntt

Com, sejak Senin 29/01, meski sudah membaca pesan pertanyaan yanh dikirimkam dia enggan merespon.


Tidak Perlu Rekonstruksi

Ahli Hukum Pidana Asal Kampus Unwira Kupang, Mikhael Feka menjelaskan bahwa dalam KUHAP tidak diatur tentang rekonstruksi dalam perkara Pidana. 


Menurut Mikhael, Rekonstruksi diatur dalam Pasal 23 Ayat (3) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 disebutkan bahwa untuk menguji persesuaian keterangan para saksi atau tersangka penyidik dapat melakukan rekonstruksi. 


Kata dia, Proses rekonstruksi menurut lampiran SK Kapolri 1505/2000 dapat dilakukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Setiap peragaan perlu diambil foto-fotonya dan jalannya peragaan dituangkan dalam BAP. Kemudian hasil rekonstruksi dianalisa terutama pada bagian-bagian yang sama atau berbeda dalam BAP.


"Berdasarkan Per Kapolri tersebut rekonstruksi tidak wajib dilakukan apabila keterangan saksi-saksi atau tersangka dan alat bukti lainnya sebagai mana di atur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP telah bersesuaian," ujarnya, Kemarin 29/01.


Dia menjelaskan bajwa rekonstruksi bukanlah satu-satunya cara untuk memastikan persesuaian tersebut karena bisa dilakukan dengan cara konfrontasi para saksi. 


Menurutnya, Rekonstruksi lebih pada cara dilakukannya suatu tindak pidana jika keterangan saksi atau tersangka belum bersesuaian maka bisa dilakukan Rekonstruksi tapi kalau sudah bersesuaian tidak perlu dilakukan Rekonstruksi. Dilansir dari Voxntt. com.(tim)

Baca juga