HEADLINE

Penjabat Gubernur NTT Ayohdia Kalake Didesak Selamatkan Bank NTT


 

KUPANG;Jejakhukumindonesia.com, Sikap dingin Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Timur, Ayodhia G. L. Kalake atau yang akrab disapa Ody Kalake yang tidak kunjung menandatangani persetujuan kerja sama Kelompok Usaha Bank (KUB) antara Bank NTT dengan Bank DKI memantik desakan dari pengamat hukum bisnis perbankan, Petrus E. Jemadu, SH.,Mhum. 

“Kita minta Pak Ody sebagai Penjabat Gubernur NTT, selamatkan bank NTT. Karena selamatkan Bank NTT bukan hanya untuk kepentingan kurang lebih 3000 karyawan, bukan hanya kepentingan direksi dan komisaris tetapi menyangkut kepentingan daerah ini,” sebut Petrus E. Jemadu kepada  wartawan di Kupang, Rabu (30/4/2024). 

Dikatakan Piet Jemadu, keberadaan Bank NTT itu hal prinsipnya adalah punya kepentingan untuk pembangunan dan kepentingan sebagai pengelola kas daerah Provinsi NTT dan Kabupaten/Kota di NTT, serta kepentingan rakyata kecil, dan nasabah kecil di NTT.

“Saya amati relasi Penjabat Gubernur NTT dengan Bank NTT bahwa kepedulian terhadap daerah ini cukup baik. Hanya memang saya lihat butuh waktu untuk berdiskusi dengan pak Ody Kalake. Sudah lama saya ingin berdiskusi dengan beliau, namun melalui media ini bisa menjadi jembatan. Karena Penjabat Gubernur itu satu tahun masa jabatan dan akan berakhir pada 5 Sepetember 2024 ini, dan saya dengar akan ada pergantian,” ujar Piet Jemadu.

Dijelaskannya, Indonesia termasuk NTT, masalah makro perbankan pasca Covid, semua ada tekanan risiko. Ada delapan risiko perbankan diantaranya likuditas, kredit, yang berdampak risisko opresiaola, risiko strategis dan lainnya. Itu pasalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melihat, tiap bank perlu ada peningkatan penyertaan modal. “Mengapa ada penambahan penyertaan modal, untuk menjangga risiko. Ada risk coverage, menyangga risisko agar terjadi risisko, maka bank itu tidak kolaps. Karena itu perlu ada penambahan modal disetor,” katanya. 

Menurut dia, Bank NTT itu adalah Badan Usaha Milik Daerah yang kredibel. Bahkan, saban tahun Bank NTT menyumbang deviden sangat besar. “Untuk Provinsi itu sekitar puluhan miliar. Untuk Kabupaten dan Kota itu miliaran. Yang puluhan miliar itu Provinsi NTT, Kabupaten Kupang, dan Sumba Timur. Meskipun saya lima sudah berehenti dari Komisaris Independen tetapi saya amati terus. Hanya kerana memang pasca covid, ada penurunana laba dan deviden. Dan kalua orang yang tidak paham perbankan mereka menilai Bank NTT dalam bahaya, itu salah. Masih ada provit dan itu ada tantangan yaitu pasca covid,” katanya.

Sehingga, untuk survie Bank NTT, pemegang saham melakukan penyertaan modal untuk menyangga risisko. “Kalau mereka tidak lakukan kerana anggara dan APBD terbatas maka ada jalan lain. Banyak jalan, dan yang terpenting adalah Penjabat Gubernur punya komitmen dan itikad baik untuk menyelamatkan bank ini dengan mencari jalan untuk penyelamatan Bank NTT,” jelas Piet Jemadu. 

“Antara lain, saham seri B. Dulu sebelum kita berehenti, pada tahun 2017-2018, kita menyatakan kepada RUPS bahwa penyerataan modal seri A sebesar Rp 3 Triliun, dan seri B Rp 1 Triliun itu di anggaran dasar, istilahnya capital statuta jadi modal di dalam anggaran dasar. Sedangkan modal saat itu sekitar Rp 1 T. Seadngkan saham seri B sekitar Rp 400 juta. Ini yang perlu didorong yaitu saham seri B. Selain itu bisa dengan banyaknya Koperasi di NTT seperti Obormas atau Singosay yang asetnya besar juga ada Swastisari, juga yang bernaung dibawah TLM, ada Serviam dan lainnya. Maksudnya pemegang sahamnya rakyat yang bersatu dalam Koperasi,” jelasnya menambahkan. 

Bahkan ada Solusi lain yang sedang dirintis saat ini yaitu dengan Kelompok Usaha Bank (KUB) bersama dari BPD. “Sekarang ada komitmen dengan Bank DKI, itu harus diteruskan karena sudah bagus. Ada bisa dengan banyak cara. Seperti kirirs dulu 1998, saat itu bank-bank pemerintah atau bank himbarah ada injeksi modal dari Pemerintah Pusat dan Bank NTT dapat juga, untuk selamatkan Bank NTT itu ratusan juta. Dan dibayar cicil kembali. Sementara ini, kita bisa nego Pemerintah Pusat untuk penempatan sementara, nanti baru kita bayar kembali atau buyback. Bahkan semacam KUB tadi juga kita bisa buyback oleh pemegang saham seri A. Jadi harus ada jalan keluar,” katanya.

Piet Jemadu menyayangkan ada segelintir orang yang tidak mengerti perbankan lau menyebarkan isu bahwa bank NTT akan downgrade. Disebutkan, jika downgrada maka menunjukan langkah mundur dari pemikiran Frans Seda dan Indra Dewata, 61 tahun lalu, ketika bank NTT didirikan. “Ketika didirikan, bahwa Bank NTT akan menjadi banknya milik rakyat NTT, pengelolah khas pemda. Kalau downgrade maka tidak bisa menjadi pengelola kas pemda. Ingat bahwa BPR itu tidak bisa membuka rekening giro, tidak bisa jadi peserta cliring, sehingga tidak  bisa kelola bank Pemda. Dan itu akan keluar dari tujuan utama pendirian Bank NTT. Padahl kita masih bisa selamatkan ini bank. Bank ini masih survive dan masih fisibel, maka OJK tidak meletakkan bank NTT sebagai bank BBU (Bank Beku Usaha), Bank NTT ini masih fisibel. Tetapi prediksinya akan terjadi risiko pasca covid, maka itu harus ada penyangga risiko agar tidak terjadi kolaps, dan itu tidak hanya bank NTT tetapi BPD lain juga begitu,” jelasnya menambahkan.

Sebelumnya diberitakan, Komisi III DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur usai menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan jajaran direksi Bank NTT, Selasa (16/4/2024), mendesak Penjabat Gubernur NTT, Ayodhia G. L. Kalake atau yang akrab disapa Ody Kalake agar segera menerbitkan Surat Persetujuan Kerja Sama Bank NTT dengan Bank DKI.

Atas desakan itu, Ody Kalake merespons dingin. ”Masih dibahas ya,” sebut Ody Kalake sambil berlalu ketika ditanya SelatanIndonesia.com usai memberikan keterangan kepada wartawan tentang persiapan NTT menuju PON  di Aceh dan Sumut, Rabu (17/4/2024) di Gedung Sasando Kantor Gubernur NTT.

Ditanya kapan surat persetujuan itu ditandatanganai, Sekretaris Menkomarvies itu kembali menegaskan, masih dibahas. “Masih dalam pembahasan,” tegasnya menuju ruang kerjanya. 

OJK Dorong Percepatan KUB

Sebelumnya Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan, masih ada 11 bank pembangunan daerah (BPD) yang belum mampu memenuhi ketentuan Modal Inti Minimum (MIM) sebesar Rp 3 triliun.

“OJK tetap mendorong pemenuhan Modal Inti Minimum 11 BPD dengan tenggat waktu 31 Desember 2024,” kata Dian, dikutip dari Antara, Sabtu (13/1/2024).

Dari jumlah tersebut, hingga saat ini sudah ada dua BPD yang memiliki rencana untuk memenuhi Modal Inti Minimum melalui setoran secara mandiri. Sedangkan sembilan BPD lainnya berencana membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB) dengan perusahaan maupun bank induk lainnya.

Secara umum, sampai dengan akhir tahun 2023 sebagian besar BPD telah mencapai tahap penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pembentukan KUB, dan satu BPD yang sudah mengajukan izin kepada OJK untuk menjadi anggota KUB.

"Saat ini terdapat empat bank yang telah menyatakan kesediaan menjadi induk KUB. Selain itu, lanjut Dian, komunikasi antara OJK dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terus dilakukan secara intensif guna mendorong BPD mempercepat proses pembentukan KUB," ujarnya.

OJK mensyaratkan bank induk merupakan bank yang mumpuni dari sisi permodalan dan kinerja. Hal tersebut, menurut Dian, bertujuan agar bank induk mempunyai komitmen dan mampu merealisasikan dukungan kepada anggota KUB dalam hal penguatan permodalan dan likuiditas.

"Di samping itu, juga meningkatkan kapasitas dan kapabilitas bank anggota KUB yang mencakup peningkatan manajemen risiko, tata kelola, SDM, IT dan pengembangan bisnis BPD khususnya dalam hal penyaluran kredit produktif untuk mendukung perekonomian daerah," katanya. (*/jhi)

Baca juga