OMBUDSMAN NTT: TERIMA KASIH WAKIL GUBERNUR NTT Johni Asadoma

 

KUPANG;Jejakhukumindonesia.com,Wakil Gubernur NTT, Johni Asadoma mengumpulkan para kepala sekolah SMA dan SMK Negeri di Kota Kupang bertempat di ruang rapat wakil gubernur. baru baru ini 


Adapun agenda yang dibahas dalam pertemuan bersama tersebut antara lain terkait pungutan pendidikan, baik pungutan pendaftaran maupun pungutan komite. Wakil gubernur menegaskan bahwa dalam penerimaan murid baru (SPMB) tahun ini, rupa-rupa pungutan sekolah sangat memberatkan para orang tua. Arahan telah disampaikan kepada para kepala sekolah agar melihat dengan hati kemampuan orang tua yang tidak mampu. 


Wakil gubernur kemudian memberikan instruksi agar sekolah mendata kembali kemampuan para orang tua untuk menentukan besaran pungutan komite dan menyampaikan kembali kepada wakil gubernur pekan depan. Yang terlewatkan dalam pertemuan tersebut adalah pemaparan RKAS sekolah yang menjadi dasar memungut dengan besaran tertentu. 


Terkait pertemuan bersama tersebut, kami menyampaikan limpah terima kasih kepada Wakil Gubernur NTT yang telah berkenan mendengar dan menindaklanjuti keluhan para orang tua. Hal ini menjadi pintu masuk untuk mendengar langsung masukan dari sekolah dalam rangka penyempurnaan draf peraturan gubernur yang akan disiapkan untuk mengatur pungutan sekolah agar hal serupa tidak terus terjadi setiap musim penerimaan murid baru. 

Hemat kami, arahan wakil gubernur untuk mendata kembali kemampuan orang tua sudah tepat. Pasalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan khususnya Pasal 52 menegaskan bahwa Pungutan oleh satuan pendidikan wajib memenuhi ketentuan antara lain sebagai berikut, 

pertama; didasarkan pada perencanaan investasi dan/atau operasi yang jelas dan dituangkan dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, serta anggaran tahunan yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. 

Kedua; perencanaan investasi dan/atau operasi diumumkan secara transparan kepada pemangku kepentingan satuan pendidikan. 

Ketiga; tidak dipungut dari peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis. 

Keempat; digunakan sesuai dengan dan tidak dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.

 Kelima; sekurang-kurangnya 20 persen dari total dana pungutan peserta didik atau orang tua/walinya digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan. 

Keenam: tidak dialokasikan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk kesejahteraan anggota komite sekolah/madrasah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan. 

Ketujuh; pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan dana diaudit oleh akuntan publik dan dilaporkan kepada Menteri, apabila jumlahnya lebih dari jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri. Dengan demikian dari persyaratan ini, masih banyak SMA dan SMK Negeri di NTT belum memenuhi syarat untuk melakukan pungutan. Sebab pungutan komite di NTT dilakukan terhadap semua siswa tanpa melihat kemampuan orang tua. Pungutan komite juga masih menjadi syarat para siswa mengikuti ujian dan mengambil ijasah pada saat tamat. Dan masih banyak sekolah yang mengalokasikan pungutan komite baik secara langsung maupun tidak langsung untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan.

Lebih lanjut Dalam klarifikasinya, sekolah-sekolah kita menyampaikan segala macam bentuk pungutan pendaftaran tersebut telah dilakukan atas kesepakatan bersama melalui mekanisme rapat bersama antara sekolah dan orang tua dengan menandatangani bersama berita acara kesepakatan rapat. Hemat kami, kata “kesepakatan” patut ditelisik ulang. 

Di ruang-ruang rapat orang tua murid, banyak hal yang tampak seperti mufakat meski sebenarnya dirasakan sebagai tekanan sosial. Tidak semua  orang tua punya pilihan untuk menolak. Tidak semua punya keberanian untuk mempertanyakan. Banyak yang hanya ingin anaknya diterima di sekolah yang diidamkan, tanpa mempersulit urusan. 

Dalam relasi yang timpang seperti ini, “kesepakatan bersama” mudah sekali berubah menjadi keterpaksaan yang dibungkus formalitas. Persetujuan orang tua, yang kadang diwujudkan dalam tanda tangan atau kehadiran dalam rapat, tidak selalu mencerminkan kerelaan. 

Selanjutnya Kami mengingatkan bahwa praktik seperti ini bisa melanggar prinsip keadilan layanan publik. Dan kita tidak bisa terus menerus menormalisasi keadaan ini sebagai bagian dari sistem. Pendidikan bukan jasa biasa. Ia adalah fondasi masa depan bangsa. Ketika biaya menjadi penghalang, maka kita sedang mencabut hak masa depan dari anak-anak yang lahir di keluarga miskin. 

Apa yang kita butuhkan bukan sekadar pembelaan dari pemerintah atau pembenaran dari pihak sekolah. Yang kita perlukan adalah keberanian untuk mengoreksi kebijakan dan budaya. Pendidikan semestinya menjadi ruang pembebasan, bukan ruang penghakiman bagi kemampuan finansial.(*)



Baca juga