Keserakahan Kepala Sekolah, Meresahkan Sistem Pendidikan

 

Kupang;Jejakhukumindonesia.Com,Kepala sekolah sejatinya adalah sosok teladan, pengayom, dan motor penggerak pendidikan di sekolah. Namun, fenomena yang sering kita jumpai justru sebaliknya: ada kepala sekolah yang terjebak dalam praktik keserakahan. Mereka menggunakan jabatan bukan untuk mengabdi, melainkan untuk memperkaya diri.


Bentuk keserakahan itu beragam: pungutan liar berkedok “sumbangan sukarela”, penggelapan dana BOS, manipulasi laporan, hingga praktik jual beli jabatan. Semua itu merugikan guru, siswa, dan orang tua. Dana pendidikan yang semestinya digunakan untuk memperbaiki fasilitas dan meningkatkan mutu pembelajaran malah berakhir di kantong pribadi.


Al-Qur’an dengan tegas melarang tindakan semacam ini. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil...” (QS. Al-Baqarah [2]:188). Kepala sekolah yang rakus jelas telah mengkhianati amanah, bukan hanya di mata manusia, tetapi juga di hadapan Allah.


Ki Hajar Dewantara mengajarkan prinsip luhur kepemimpinan: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Kepala sekolah seharusnya menjadi teladan di depan, memberi semangat di tengah, dan dorongan di belakang. Jika yang ditampilkan justru kerakusan, maka prinsip pendidikan ini hancur. John C. Maxwell, pakar kepemimpinan dunia, juga menegaskan: “Segala sesuatu jatuh atau bangun tergantung pada kepemimpinan.” Artinya, meski kurikulum dan program pemerintah disusun dengan baik, pendidikan akan gagal jika kepala sekolahnya koruptif.


Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengingatkan: “Korupsi di sektor pendidikan adalah kejahatan ganda, karena bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merampas hak generasi mendatang.”

Dampaknya tidak sederhana. Guru kehilangan motivasi, murid kehilangan teladan, dan masyarakat kehilangan kepercayaan pada sekolah. Bahkan lebih jauh, generasi muda akan belajar contoh buruk: bahwa jabatan bisa dipakai untuk menumpuk kekayaan. Ini adalah kerusakan moral yang mengancam masa depan bangsa.


Oleh karena itu, ada tiga langkah penting yang harus ditempuh. Pertama, memperketat pengawasan internal dan eksternal agar penyalahgunaan wewenang bisa dicegah sejak awal. Kedua, membangun pendidikan karakter, bukan hanya untuk siswa, tetapi juga bagi pemimpin sekolah. Ketiga, masyarakat tidak boleh diam. Keberanian orang tua, guru, dan media dalam bersuara sangat penting untuk menekan praktik keserakahan ini.


Rasulullah SAW pernah bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari-Muslim). Kepala sekolah yang serakah bukan hanya gagal menjalankan amanah, tetapi juga menanggung dosa sosial karena merampas hak generasi mendatang.

 

Keserakahan di dunia pendidikan bukan sekadar pelanggaran administrasi, melainkan pengkhianatan moral. Jika kita membiarkannya, maka yang rusak bukan hanya sistem sekolah, tetapi juga akhlak anak bangsa. Dunia pendidikan membutuhkan kepala sekolah yang amanah, bersih, dan mengabdi sepenuh hati — bukan yang serakah dan rakus kuasa.(*)

(Penulis: Fathur Dopong (Guru Pendidikan Agama Islam)

Baca juga