HEADLINE

PH Mohon Hakim Bebaskan Terdakwa, PKTM Karena Tak Terbukti Rugikan Negara

 

Kupang;Jejakhukumindonesia.com,Tim Penasihat Hukum (PH), terdakwa PKTM sebagai PPK Puskesmas Balauring, Kecamatan Omesuri dan Puskesmas Wairiang, Kecamatan Buyasuri, Kabupaten Lembata – NTT memohon Majelis Hakim untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena berdasarkan fakta persidangan, terdakwa  tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan JPU. Sebaliknya terdakwa telah menyelamatkan keuangan negara dengan menahan 20 persen sisa pembayaran nilai kontrak (sekitar Rp 2 Milyar) dari proyek pembangunan kedua Puskesmas tersebut di kas Daerah Kabupaten Lembata hingga saat ini.


Demikian disampaikan Tim PH, Charles Primus Kia, SH dan Decky Lay, SH melalui Dupliknya terhadap Replik JPU dalam sidang kasus Proyek Pembangunan Puskesmas Balauring dan Wairiang. Sidang kasus kedua proyek (yang di splitzing JPU, red) tersebut dipimpin Ketua Majelis Hakim, Wari Juniati, SH, MH, didampingi anggota Majelis Hakim, Lisbeth Adelina, SH dan Mike Priyantini, SH serta Dian Ismail, SH sebagai Panitera Pengganti di Pengadilan Negeri Klas 1A Kupang  pada Rabu (5/4/23).


Menurut Tim PH, Unsur Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum. “Oleh karena, perhitungan kerugian negara tidak dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum secara riil dan pasti. Maka mohon yang mulia Majelis Hakim menggunakan asas in dubio pro reo demi keadilan bagi Terdakwa PKTM,” harap Tim PH.


Dijelaskan, sesuai fakta persidangan, masih ada sisa anggaran pekerjaan Puskesmas Balauring di Wowon dan  Puskesmas Wairiang di Bean di Kas Negara/Daerah masing-masing sekitar 20% atau totalnya lebih dari Rp 2 Milyar sehingga Kerugian Negara berupa Cacat Mutu dan Denda Keterlambatan adalah masih bersifat potensial loss.


Menurut Tim PH, potensial loss itu akan menjadi kerugian negara apabila Terdakwa PKTM telah membayar seluruh nilai proyek kepada CV.  Lembah Ciremai. Namun faktanya, total dana yang masih ditahan Terdakwa PKTM sekitar Rp 2 M. Dana tersebut akan digunakan untuk menutupi nilai cacat mutu dan denda keterlambatan (maksimal 5 persen) dari kedua gedung Puskesmas tersebut. Namun faktanya, temuan cacat mutu dan denda keterlambatan sesuai perhitungan BPK RI (yang seharusnya dijadikan acuan perhitungan keugian negara/PKN) tapi diabaikan JPU.


“Pemeriksaan dan Perhitungan Tim Pemeriksa Politeknik Negeri Kupang tidak sesuai standar kontruksi bangunan, dilakukan hanya secara visual tanpa mengambil sampel untuk diuji mutunya. Namun kemudian menghitungkan kerugian secara total loss item pekerjaan sehingga nilai perhitungan cacat mutu menjadi tinggi tanpa memperhatikan nilai bagian (parsial loss) item-item pekerjaan yang sudah terpasang/dikerjakan,” jelas Tim PH.


Menurut Tim PH, Perhitungan Cacat Mutu yang benar harus dilakukan oleh ahli yang disertifikasi Kementerian PUPR. Sesuai Keterangan Ahli, Ir. Piter Djami Rebo, M.Si., (yang dihadirkan dalam persidangan, red),  menghitung nilai cacat mutu adalah menghitung nilai teknis bagian item pekerjaan (parsial loss) yang belum terpasang atau belum dikerjakan.


Menurut Tim PH, kesimpulan dari Tim Teknis Politeknik Negeri Kupang dalam Bukti Surat Laporan Hasil Pemeriksaan Pekerjaan Pembangunan Puskesmas Balauring  dan Wairiang adalah perhitungan selisih biaya bukan bagian dari laporan resmi.


Dengan demikian, perhitungan Cacat Mutu oleh Tim Politeknik Negeri Kupang, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak sesuai dengan norma hukum berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, menyatakan: “… menurut Mahkamah unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potensial loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi.” 


Selanjutnya, Tim PH menilai perhitungan kerugian negara berupa Denda Keterlambatan oleh Akuntan Publik, adalah tidak sah karena Akuntan Publik tidak dihadirkan untuk memberi keterangan dalam persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan perhitungannya. Oleh karenanya, perhitungan tersebut sepatutnya dikesampingkan.


Selain itu, perhitungan kerugian negara berupa Denda Keterlambatan oleh Akuntan Publik tidak sesuai / berbeda dengan rekomendasi perhitungan BPK kepada Terdakwa PKTM selaku PPK yang dikenakan kepada CV. Lembah Ciremai.


“Bahwa pembayaran Denda Keterlambatan akan dipotong pada saat pembayaran sisa anggaran kepada CV. Lembah Ciremai, sehingga dalil Jaksa Penuntut Umum bahwa Terdakwa PKTM tidak menagih/mengenakan Denda Keterlambatan kepada CV. Lembah Ciremai adalah hanya dalil asumsi Jaksa Penuntut Umum.,” kritik Tim PH.


Berdasarkan uraian di atas dan juga dalam Nota Pembelaan (Pledooi) baik Pribadi dari Terdakwa PKTM dan Penasihat Hukum, pada tanggal 29 Maret 2023, “maka Penasihat Hukum berpendapat bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak terpenuhi dan tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum,” ujar Tim PH.


Apabila, lanjut Tim PH, ada salah satu unsur delik menurut yang menurut Yang Mulia Majelis Hakim yang menimbulkan keraguan dari pembuktian Jaksa Penuntut Umum, maka Tim PH memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk mengambil keputusan dengan mempertimbangkan asas in dubio pro reo, demi keadilan bagi Terdakwa PKTM.


Karena itu, Tim PH memohon Yang Mulia Majelis Hakim untuk memutus perkara dengan amar putusan sebagai berikut:


1. Menyatakan Terdakwa PKTM, tidak terbukti bersalah, secara sah dan menyakinkan menurut hukum, melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam Dakwaan Primair dan Dakwaan Subsidair;


2. Menyatakan membebaskan Terdakwa Petrus Kanisius Talele Mudapue, S.ST., dari segala dakwaan (vrijspraak) atau setidak-tidaknya menyatakan Terdakwa PKTM lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging);


3. Menyatakan membebaskan Terdakwa Petrus Kanisius Talele Mudapue, S.ST., dari membayar Denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan Uang Pengganti Kerugian Negara sejumlah Rp. 466.545.534,- (empat ratus enam puluh enam ribu lima ratus empat puluh lima ribu lima ratus tiga puluh empat rupiah) dengan segala akibat hukumnya;


4. Menyatakan membebaskan atau melepaskan Terdakwa PKTM dari Rumah Tahanan Negara seketika pada saat putusan ini dibacakan; 


5. Memulihkan dan merehabilitasi hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; dan

6. Mohon Keadilan.


Permohonan tersebut didasarkan pada kesimpulan Tim PH, bahwa berdasarkan pemeriksaan persidangan, baik keterangan saksi, keterangan ahli dan bukti surat sebagaimana Berkas Perkara yang diajukan Jaksa Penuntut Umum. ,


Adapun kesimpulan Tim JPH berdasarkan fakta persidangan sebagai berikut:


Tim PH menilai Dakwaan Jaksa Penuntut Umum menurut hukum, adalah tidak sah sehingga dapat dibatalkan oleh Hakim. Bahwa Jaksa Penuntut Umum terkesan terburu-buru menetapkan tersangka kepada Terdakwa PKTM  pada tanggal 10 September 2022, Saat itu proses penyelesaian kerugian negara terhadap hak mendapat pembayaran dan kewajiban memperbaiki kekurangan pekerjaan (Cacat Mutu) dan Denda Keterlambatan dari CV. Lembah Ciremai, sedang diselesaikan melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri Lembata, sejak tanggal 02 Agustus 2022.


“Karena Jaksa Penuntut Umum terburu dalam Penetapan Tersangka dan terikat batas waktu Penahan Tersangka berakhir, sehingga juga terburu – buru melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan.  “Tanpa memahami secara keseluruhan perkara mengenai siapa pelaku? dan siapa yang bertanggung jawab? Atau kesalahan siapa? Maka penerapan rumusan delik tindak pidana dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum menjadi copy paste dari perkara korupsi yang lain,” kritik Tim PH.


Sesuai Surat Dakwaan JPU, PKTM didakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama (Pasal 55 ayat (1) ke-1) dengan Saksi LSGA selaku Pengguna Anggaran dan Saksi Johansyah selaku Direktur CV. Lembah Ciremai. “Namun status kedua pelaku tersebut tidak sebagai terdakwa dalam perkara ini maupun dalam berkas perkara yang lain (splitzing),” beber Tim PH.


Tim PH baru mengetahui bahwa bahwa Saksi Johansyah selaku Direktur CV. Lembah Ciremai, baru ditetapkan sebagai Tersangka pada tanggal 8 Maret 2023 saat dikatakan JPU dalam Sidang   Tuntutan. “Artinya baru ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah sehingga jelas bahwa Surat Dakwaan pada tanggal 8 Desember 2022 kepada Terdakwa PKTM seharusnya rumusan delik dakwaan, tidak menggunakan delik penyertaan (Pasal 55 ayat (1) ke-1,” tandas Tim PH.


Dengan demikian, lanjut Tim PH, Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, adalah tidak sah atau batal demi hukum. “Oleh karena Surat Dakwaan terbukti, tidak sah menurut hukum, maka demi keadilan Mohon Yang Mulia Majelis Hakim membatalkan Surat Dakwaan JPU dan membebaskan Terdakwa PKTM dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum,” ujar Tim PH.


Begitu juga, lanjut Tim PH, terhadap dakwaan perbarengan perbuatan pidana (concursus), Terdakwa PKTM, didakwa dengan pemisahan berkas perkara (splitzing) yaitu Perkara Nomor: 91/PidSus-TPK/2022/PN.Kpg (No. Reg. Perkara: PDS-6/N.3.22/Ft.1/11/2022) dan Perkara Nomor: 90/PidSus-TPK/2022/PN.Kpg (No. Reg. Perkara: PDS-7/N.3.22/Ft.1/11/2022).


“Namun rumusan delik tindak pidana korupsi dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak mencantumkan Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,  yang menyatakan: Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan pidana yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana,” kutip Tim PH.


Dengan demikian, tegas Tim PH, Surat Dakwaan JPU terbukti tidak sah menurut hukum. Oleh karenanya, Tim JPU memohon majelus Hakim membatalkan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau setidak-tidaknya menjatuhkan pemidanaan dalam satu perkara saja sedangkan perkara yang lain, dinyatakan tidak dapat diterima.



Selanjutnya, menurut Tim PH, Sifat Perbuatan Melawan Hukum Terdakwa bukanlah perbuatan tindak pidana korupsi. Bahwa dalam pemeriksaan persidangan berdasarkan Berkas Perkara JPU, baik keterangan saksi, keterangan ahli dan bukti surat, maka ditemukan fakta hukum, sebagai berikut:


Pada tanggal 10 Maret 2020, dilakukan Serah Terima Pertama (PHO) berdasarkan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan Nomor: 01.08/BAPHP.PHO/DINKES/III/2020, dengan catatan dalam Berita Hasil Pemeriksaan Fisik ditemukan item-item pekerjaan yang belum dikerjakan dan yang dikerjakan tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak, sehingga dilakukan perbaikan oleh CV. Lembah Ciremai pada Masa Pemeliharaan.


Pada masa pemeliharaan selama 1 (satu) tahun sampai tanggal 10 Maret 2021, namun CV. Lembah Ciremai belum mulai melakukan perbaikan Puskesmas Balauring dan Wairiang dengan alasan Terdakwa PKTM selaku PPK belum mencairkan pembayaran Puskesmas Balauring dan Wairiang di sebesar 20% atau sekitar Rp 2 M. Namun Terdakwa selaku PPK akan melakukan pembayaran sisa anggaran sekaligus baik Puskesmas Wairiang di Bean dan Puskesmas Balauring di Wowon, setelah CV. Lembah Ciremai menjalankan kewajiban untuk memperbaiki Puskesmas Wairiang  dan Puskesmas Balauring.


Walaupun masih Sengketa Kontrak mengenai hak dan kewajiban para pihak, tiba-tiba Aparat Penegak Hukum, Jaksa melakukan penyidikan pada tanggal 21 Juli 2021.


Pada tanggal 02 Oktober 2021, Tim Politeknik negeri Kupang didatangkan oleh Jaksa Penyidik ke Lembata, memeriksa objek Puskesmas Balauring dan Wairiang.


Pada tanggal 16 November 2021, dikarenakan Terdakwa masih menahan atau tidak melakukan pembayaran sisa anggaran kedua Puskesmas tersebut, maka Kuasa Direktur CV. Lembah Ciremai, Bambang Ismaya menyegel Puskesmas Wairiang di Bean sehingga Puskesmas tidak dapat digunakan untuk pelayanan Kesehatan masyarakat. 


Dan Kuasa Direktur CV. Lembah Ciremai, Bambang Ismaya melaporkan dugaan penipuan atas nama Sdr. PKTM selaku PPK di Polres Lembata pada tanggal 29 November 2021. Kasus tersebut dihentikan oleh Penyidik Polres Lembata karena kasus tersebut merupakan Sengketa Wanprestasi Kontrak, ranah hukum perdata.


Penyelesaian Sengketa Kontrak antara Pihak I (PPK) dan Pihak II (CV. Lembah Ciremai) mengenai HAK CV. Lembah Ciremai berupa pembayaran sisa anggaran oleh PPK dikurangi kewajiban berupa kekurangan pekerjaan atau tidak layak dibayarkan (Cacat Mutu) dan Denda Keterlambatan dari CV. Lembah Ciremai, akhirnya diselesaikan melalui Pengadilan, dimana Pihak II (CV. Lembah Ciremai) mengajukan Gugatan Wanprestasi di Pengadilan Negeri Lembata dengan Perkara Nomor: 20/PDT-G/2022/PN.LBT tanggal 02 Agustus 2022.


Proses persidangan Gugatan Wanprestasi, Terdakwa sebagai Tergugat III, sempat mengikuti sampai persidangan mediasi. Namun setelah agenda Sidang Mediasi dinyatakan gagal sehingga dilanjutkan persidangan pokok perkara, Sdr. PKTM, tiba-tiba ditetapkan tersangka oleh Jaksa Penyidik pada tanggal 22 September 2022.


Walaupun Aparat Penegak Hukum, Polres Lembata sudah menghentikan penyidikan karena masih ranah sengketa perdata, Namun Aparat Penegak Hukum, Jaksa tetap bersikeras menyelesaikan kerugian negara secara tindak pidana korupsi, yang seharusnya dalam perkara tersebut Jaksa seharusnya menurut hukum dapat bertindak sebagai Pengacara Negara.


Walau demikian, kata Tim PH, JPU tetap mendakwakan PKTM telah melanggar perjanjian / kontrak dan melanggar peraturan perundang-undangan yang dihubungkan dengan sifat kerugian negara dalam delik tindak pidana korupsi, tanpa memberi kesempatan kepada Terdakwa menyelesaikan kerugian negara tersebut yang masih bersifat administrasi negara atau bersifat perdata.


Terdakwa, kata Tim PH, sedang menjalankan tugas negara atau perintah jabatan (Pasal 51 ayat 1 KUHP) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dimana apabila terjadi adanya kerugian negara tidak serta merta diselesaikan secara hukum pidana. Namun ada prosedur mekanisme penyelesaian melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengutamakan pendekatan hukum administrasi daripada hukum pidana, mengutamakan sanksi mengembalikan kerugian negara daripada sanksi pidana penjara.


Berdasarkan fakta persidangan dan pendapat para ahli di sidang pengadilan, Tim PH menyimpulkan bahwa perbuatan Terdakwa PKTM bukanlah  perbuatan melawan hukum delik tindak pidana korupsi tetapi perbuatan melawan hukum administrasi negara atau perbuatan melawan hukum perdata sedangkan delik hukum pidana korupsi digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) setelah dilakukan mekanisme penyelesaian kerugian negara secara hukum administrasi negara atau hukum perdata.


Tim PH menilai, Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum. Menurut Tim PH, Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lembata Nomor 243.a Tahun 2019 tentang Penetapan Terdakwa selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), pada tanggal 07 Januari 2019 oleh Kepala Dinas Kesehatan Dr. LSGA adalah tidak sah (illegal) karena Kepala Dinas Kesehatan baru diangkat sebagai Pengguna Anggaran dalam pengelolaan keuangan dan barang di SKPD pada Dinas Kesehatan oleh Bupati Kabupaten Lembata berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 91 Tahun 2019 tentang Penunjukan/Penetapan Pejabat Pengelola Keuangan dan Pejabat Pengelola Barang pada Perangkat Daerah Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2019, pada tanggal 18 Februari 2019. Bahwa dengan demikian, Unsur “Setiap Orang” tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum.


Selanjutnya Tim PH menegaskan, sebagaimana diuraikan dalam fakta hukum kronologis duduk perkara, jelas terjadi konflik / sengketa antara Terdakwa dengan CV. Lembah Ciremai, sehingga tidak mungkin ada niat Terdakwa untuk menguntungkan CV. Lembah Ciremai. Dengan demikian, Unsur “Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum.


Selain itu, peristiwa / perbuatan yang diuraikan dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum lebih banyak bukan pada tahapan Pelaksanaan Kontrak dan tahapan Serah Terima Pekerjaan, yang bukan kewenangan Terdakwa PKTM  sebagaimana ditentukan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.


Bahwa perbuatan / keputusan Terdakwa PKTM selaku PPK dalam melaksanakan Kontrak telah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Apabila ada tindakan atau keputusan Terdakwa PKTM merugikan Pihak II (CV. Lembah Ciremai) dapat mengajukan pembatalan atas penyalagunaan wewenang di Pengadilan Tata Usaha Negara.


Bahwa dengan demikian, Unsur “Menyalagunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena Jabatan atau Kedudukan” tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum.


Tim PH juga menjelaskan, dalam pemeriksaan persidangan berdasarkan Berkas Perkara Jaksa Penuntut Umum, baik keterangan saksi, keterangan ahli dan bukti surat, maka ditemukan fakta hukum, sebagai berikut:

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum mengurai Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Saksi Dr. Lucia dan Saksi Johansyah.

Saksi Dr Lucia dan Saksi Johansyah tidak didakwa bersama-sama dalam perkara.

Saksi Johansyah baru diketahui dalam Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, ditetapkan sebagai Tersangka pada tanggal 08 Maret 2023.


Bahwa Terdakwa PKTM didakwa sebagai “Turut Serta Melakukan” namun tidak ada Pelaku Materiil sebagai sub unsur “Yang Melakukan” atau pelaku yang lain dalam perkara ini.  Oleh karena itu, Unsur “Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan. Tidak terpenuhi secara sah dan menyakinkan menurut hukum.   


Mengenai Unsur Pembayaran Uang Pengganti, Tim PH menjelaskan bahwa Cacat Mutu dan Denda Keterlambatan adalah kewajiban dan tanggungjawab dari Penyedia Jasa Kontraktor Pelaksana CV. Lembah Ciremai, sebagaimana ketentuan Pasal 17 ayat (2) juncto Pasal 78 ayat (3) huruf (f) jo. ayat (5) huruf (f) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.


TIM PH mengungkapjan, Terdakwa tidak pernah menerima uang Rp 1 pun dari CV. Lembah Ciremai. “Tidak ada sedikit pun atau tidak ada 1 (satu) rupiah pun, Terdakwa PKTM ikut menikmati apa yang dimaksud oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai kerugian negara,” tegas Tim PH.


Menurut Tim PH, pembayaran uang penganti adalah pidana tambahan bersifat fakultatif sehingga bergantung siapa yang bertanggungjawab atas kerugian negara tersebut. Teori Dualistis memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawab pidana. Oleh karenanya, pidana tambahan dalam Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum mengenakan denda keterlambatan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab dari CV. Lembah Ciremai dikenakan kepada Terdakwa PKTM adalah Tidak Tepat/Tidak Patut/Tidak Adil.


Bahwa dengan demikian, Unsur “Pembayaran Uang Pengganti” tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum. ..(tim)

Baca juga