HEADLINE

Diduga Benih Kerapu yang Ditebar di Wae Kelambu Hanya 384 Ribu Ekor dari Kontrak 1 Juta Ekor

 

Kupang;Jejakhukumindonesia.com,Diduga benih Ikan Kerapu yang ditebar oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT melalui Dinas Kelautan dan Perikanan di Teluk Waekulambu, Riung, Kabupaten Ngada, Provinsi NTT hanya berjumlah 384 ekor atau hanya sekitar 38,4% dari jumlah yang seharusnya diadakan sesuai kontrak kerja antara Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTT dengan kontraktor pelaksana, PT ................ 


Berdasarkan hasil investigasi Tim Media ini dari data benih ikan kerapu yang masuk dari Buleleng, Bali ke Labuan Bajo, NTT (berdasarkan data yang dipublikasi secara online, red) hanya tercatat sebanyak 384 ribu ekor. Benih tersebut diangkut melalui jalan darat dengan menggunakan mobil pick up sebanyak 3 kali angkut. 


Sumber yang sangat layak dipercaya saat ditemui di Kupang pada beberapa waktu lalu (03/07/2022) mengungkapkan, semua jenis ikan hidup yang masuk/keluar ke/dari NTT harus melalui Karantina Ikan. “Dan berdasarkan data dari Karantina yang dipublikasi secara online, jumlah benih Ikan Kerapu yang masuk ke NTT dari Buleleng, Bali hanya sebanyak 384 ribu ekor. Bukan 1 juta ekor,” ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya. 


Menurutnya, data yang benar adalah data yang dipublikasi secara online oleh Karantina Ikan. “Jadi hanya sebanyak 384 ribu ekor benih Ikan Kerapu yang masuk dari Buleleng, Bali ke NTT.  Tidak benar kalau dikatakan ada 1 juta ekor benih ikan kerapu yang masuk ke NTT pada tahun 2019,” tegasnya.


Dari data yang dipublikasi Balai Benih Ikan secara online, lanjutnya, benih ikan kerapu tersebut masuk ke NTT melalui Karantina Labuan Bajo pada Bulan Desember Tahun 2019. “Benih Ikan Kerapu tersebut didatangkan dari Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali menggunakan alat angkutan darat (jenis Pick Up). Benih itu masuk melalui Karantina Ikan di Labuan Bajo, kemudian dibawa ke  Wae Kelambu, Riung Kabupaten Ngada – NTT,” bebernya.


Benih ikan kerapu tersebut, jelasnya, dibawa dari Kabupaten Buleleng, Bali ke Karantina Ikan di Labuan Bajo secara bertahap. “Sebanyak 384 ribu ekor benih ikan kerapu itu dimasukan ke Karantina Labuan Bajo sebanyak 3 kali. Jadi tidak dibawa sekaligus,” ujarnya.


Sumber yang sangat paham dengan budidaya ikan tersebut merincikan, berdasarkan data yang dipublikasi Balai Karantina Ikan NTT (yang juga diperoleh Tim Media ini, red), ada 3 tahap pemasukan benih ikan kerapu tersebut, yakni :

1. Tahap 1, Tanggal Datang: 16 Desember 2019. Nama Umum: Benih Kerapu. Volume: 150.000 HDS, HSCODE: 03019911. Asal: Kabupaten Buleleng. Alat Angkut: Angkutan Darat.

2. Tahap 2, Tanggal Datang: 23 Desember 2019. Nama Umum: Benih Kerapu. Volume: 108.000 HDS, HSCODE: 03019911. Asal: Prov. Bali. Alat Angkut: Pick Up.

3. Tahap 3, Tanggal Datang: 23 Desember 2019. Nama Umum: Benih Kerapu. Volume: 126.000 HDS, HSCODE: 03019911. Asal: Prov. Bali. Alat Angkut: Pick Up.

“Itu data yang sebenarnya. Jadi tidak benar apa yang dikatakan Dinas Kelautan dan Perikanan NTT bahwa ada 1 juta ekor benih ikan Kerapu yang ditebar di Waikulambu. Semua benih harus masuk dari Karantina Ikan, memangnya untuk menggenapi angka 1 juta ekor disulap?” ujarnya.

Mengenai harga benih ikan kerapu per ekornya, sebesar Rp 5.500,00 (Lima ribu Lima Ratus Rupiah). “Ini harganya jadi kita bisa hitung sendiri berapa total nilai dari 384 ribu ekor benih ikan kerapu tersebut,” bebernya.


Sumber itu mengatakan, bila kemudian juga ada data pembanding dari Dinas Kelautan dan Perikanan NTT terkait pasokan benih ikan Kerapu ke tempat karantina sebelum dibawa ke lokasi budidaya Wae Kelambu tertanggal 14 Desember 2019, 17 Desember 2019, 21 Desember 2019 dan  24 Desember 2019 dengan jumlah yang berbeda dari data yang dipublikasi Balai Karantina Ikan secara online, maka ia memastikan bahwa data itu tidak benar.

“Karena yang saya lihat dan saya, khusus Nomor Surat Keterangan Asal (Ska) Komoditi Perikanan, Yang Ditandatangan Kepala Dinas Kabupaten Buleleng Jelas Ditulis Menggunakan Alat Tulis Balpoint,” ungkapnya.


Seperti diberitakan Tim Media ini sebelumnya, Dinas Perikanan NTT merealisasikan ‘sabda’ Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat saat berkunjung ke Teluk Wae Kelambu pada awal tahun 2019 untuk melakukan budidaya 1 juta ekor benih ikan kerapu. Untuk itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT mengajukan penggunaan dana mendahului perubahan anggaran sebesar Rp 7,5 Miliar untuk kegiatan budidaya 1 juta ekor benih ikan kerapu tersebut. 


Pola budidaya kerapu yang diusulkan adalah pola pemberdayaan masyarakat (masyarakat dilatih dan dilibatkan secara langsung dalam budidaya ikan kerapu dengan pola keramba apung, red). Ketika usulan tersebut masih dibahas oleh Badan Anggaran DPRD NTT, diduga Pimpinan DPRD NTT saat itu (Periode 2015-2015, red) telah menandatangani persetujuan penggunaan anggaran mendahului perubahan anggaran untuk proyek tersebut.


Namun dalam pelaksanaan proyek tersebut, tidak menggunakan pola pemberdayaan masyarakat. Anehnya, sesuai keterangan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTT saat itu, Ganef Wurgianto dan pernyataan Gubernur Laiskodat (berdasar vidio dan berita yang beredar di masyarakat, red), benih ikan kerapu yang katanya sebanyak 1 juta ekor itu ditebar ke dalam laut teluk Wae Kelambu.


Hanya sekitar 5.000 ekor ikan kerapu yang dibudidaya di dalam keramba. Keramba itu dijaga oleh 2 orang koperasi anggota koperasi setempat dan digaji oleh Dinas Kelautan dan Perikanan NTT. Di Wae Kelambu diadakan 1 unit bagan apung (kelong), 1 pelabuhan apung (jetty). 


Namun saat ikan kerapu sebanyak 5.000 ekor tersebut dipanen pada tahun 2021 (setelah 2 tahun, red) hanya berhasil dipanen sekitar ratusan ekor dengan berat sekitar 1,5 ton atau dengan nilai sekitar Rp 78 juta rupiah. Atau hanya sebesar 1 persen dari nilai investasi/anggaran yang dikeluarkan Pemprov NTT untuk budidaya ikan kerapu tersebut. Program budidaya ikan di Teluk Wae Kelambu tersebut.


Padahal investasi untuk budidaya ikan kerapu tersebut yang berasal dari dana APBD TA 2019 sebesar Rp 7,5 Miliar dan ditambahkan anggaran sekitar Rp 300 juta untuk pakan ikan pada Perubahan APBD 2020 sebesar Rp 300 juta. Dengan demikian total anggaran untuk budidaya ikan kerapu di Teluk Wae Kelambu sebesar Rp 7,8 Miliar.


Sesuai pengakuan Kadis Perikanan NTT saat itu, Ganef Wurgianto, selain di Wae Kelambu, juga dibudidaya ikan kerapu di Mulut Seribu (Kabupaten Rote Ndao) sebanyak 5.000 ekor. Namun saat Komisi III DPRD NTT melakukan kunjungan kerja ke lokasi tersebut, tidak ditemukan adanya budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba apung.


Pada tahun 2020, Dinas Perikanan NTT juga melakukan budidaya ikan kerapu dan kakap putih di Pulau Semau dengan dana sebesar Rp 15 Miliar berasal dari APBD NTT tahun 2020. Lokasi ini sempat dikunjungi oleh Menteri Perikanan untuk dijadikan sentra budidaya ikan kerapu nasional dengan sistem keramba apung. Namun informasi yang dihimpun Tim Media ini, hasil panennya bak jauh api dari panggang. Panen kerapu di Lokasi tersebut dilakukan secara ‘diam-diam’ dan terkesan sangat tertutup dari media massa.

Dugaan korupsi budidaya ikan kerapu di Teluk Wae Kelambu tersebut sempat dilidik oleh Ditreskrimsus Polda NTT pada September 2020. Namun setelah terhadap pemeriksaan terhadap kontraktor pelaksana pada awal Oktober 2020, kasus tersebut bak karam alias tenggelam ditangan penyidik Polda NTT. 


Sementara itu, kasus dugaan korupsi budidaya ikan kerapu di Teluk Wae Kelambu dan Pulau Semau tersebut juga dilaporkan oleh sejumlah LSM dan aktivis anti Korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI. Komisi Anti Korupsi pun saat ini sedang melakukan supervisi ke Polda NTT untuk melanjutkan penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan korupsi senilai Rp 22,8 Miliar rupiah tersebut. Polda NTT pun telah melanjutkan penyelidikan terhadap dugaan korupsi budidaya ikan kerapu dan kakap putih tersebut. (jh/tim)

Baca juga