HEADLINE

MATERIALISME MEMUNGKINKAN KORUPSI Adolfo Martins de Deus (Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang) Pendahuluan

 

Kupang;Jejakhukumindonesia.com,Korupsi adalah salah satu persoalan “klasik” yang masih membudaya dan menjadi penyakit umum yang sukar untuk menemukan solusi definitifnya di era yang serba “klik” ini. Korupsi terus terjadi mulai dari level nasional sampai level lokal, dari yang bertopi hitam sampai petani yang tak bertopi. Tindakan koruptif tetap dijalani walaupun hukum menjanjikan hukuman dan kematian. Lalu sebenarnya apa yang menjadi extra power korupsi sehingga orang tidak mampu menghindarinya sebab mereka menyadari bahwa hukuman dan bahaya korupsi berakibat fatal bagi hidup dan masa depan mereka.

Penulis dalam artikel kecil ini mencoba menggagas aktus korupsi dari gagasan filsafat India, aliran Charvaka. Aliran ini menjunjung tinggi nilai-nilai materiil yang menjadi esensi dari kehidupan itu sendiri dan bertekad menyangkal peranan Roh (Allah) dalam hidup termasuk dunia dan segala kompleksitasnya. Bagi penulis aktus korupsi selain rigoritas penyebabnya, sikap materialis dan apatis terhadap yang transenden dan tidak realistis merupakan beberapa aspek yang menyebabkan orang melakukan korupsi. 

Pembahasan

1. Konsep Aliran Charvaka

Charvaka merupakan sebuah aliran di dalam filsafat India. Nama charvaka diambil dari pendiri aliran ini Carwaka. Dia adalah seorang pemikir Hindu yang sangat skeptis. Menurut charvaka, dunia materi adalah nyata dan hanya ia sendiri yang ada. Materi dibuat dari udara, tanah, api dan air. Kesadaran hanyalah satu fungsi dari materi, jiwa berarti badan, tidak ada kehidupan lagi setelah mati, tidak ada Tuhan, dunia menciptakan dirinya sendiri, mengejar kesenangan adalah tujuan hidup (Hartanto, 2022: 89).

Charvaka sangat tidak bisa menerima kehidupan sesudah mati karena tidak ada seorang pun yang telah melihatnya dan seandainya ada, tidak ada sarana untuk memverifikasinya. Maka, hanya eksistensi dunia ini yang diakui, kebakaan jiwa sebagai entitas ditolak. Charvaka begitu tajam dalam mengkritik sumber-sumber pengetahuan yang menurut mereka tidak benar. Sebagai contoh kritik mereka terhadap penyimpulan, inferens (Ramakrishna, 2013: 1).

Pada sisi lain, Charvaka diartikan sebagai tindakan memakan, mengunyah, sejalan dengan perkataan Carva yang artinya ‘mengunyah atau ‘makan’. Penafsiran ini menegaskan perbuatan memakan dan meminum. Hal ini juga dikarenakan Charvaka merupakan gelar umum yang disematkan kepada oknum-oknum materialis di India yang meyakini doktrin bahwa hidup ini hanyalah ‘makan, minum dan berkahwin’ (Arthur, 2009:11). 

Dalam etika, Charvaka menjunjung tinggi kepuasaan sensual dan menyebutnya sebagai Sunnum bonum (the highest good). Dalam hal ini makan, minum dan kenikmatan merupakan bagian yang mesti dinikmati sepuas-puasnya karena hidup ini hanya sekali. Kendati Charvaka menolak falsafah India tentang nilai-nilai kemanusiaan yaitu Dharman, Artha dan Moksa kecuali Kama. Charvaka hanya menerima kama (sensual pleasure) sebagai nilai yang sejalan dengan pemikiran mereka (Shabri, 2015: 103).

Charvaka menolak pengetahuan yang bersifat inferens dan testimoni. Bagi mereka yang disebut Valid Knowledge hanya pengetahuan yang dapat diverifikasi. Mereka berpendapat bahwa inferens adalah a more leap in the dark. Misalkan abstrak api menghasilkan asap belum tentu benar karena ada pula benda-benda lain yang dapat menghasilkan asap. Demikian juga hal testimoni sebagaimana digambarkan dalam Kitab Vedik khususnya. Karena testimoni verbal yang disampaikan oleh para guru Veda bukan sumber ilmu yang benar. 

Fokus utama aliran Charvaka adalah afirmasi tentang pentingnya mencari kepuasaan sensual dan kesenangan walaupun mereka juga menenkankan kebijaksanaan di balik upaya untuk memuaskan dahaga. Artinya orang harus sungguh-sungguh menikmati kehidupan sepenuhnya dan mengelakkan kesakitan. Pada taraf ini Charvaka secara fundamental hanya mementingkan kesenangan dan mengupayakan kepuasaaan hedonis yang bersifat individual dan temporal.

2. Charvaka Di Dalam Korupsi 

Korupsi Dan Penyebab-Penyebab

Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai tindakan pencurian secara formal lewat prosedur-prosedur ilegal yang dilegitimasi berkat wewenang yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang. Dalam hal ini orang-orang yang berwewenang memakai kekuasaan mereka melakukan korupsi dan memakai uang dan barang milik orang lain untuk memperkaya diri dan sekutu mereka. 

Dalam kacamata filsafat, korupsi ditinjau secara lebih mendalam dengan mendasarkan pada arti leksikalnya. Korupsi berasal dari bahasa Latin, rumpere artinay merusak, mendobrak, memecah. Kata sifatnya Ruptio yang berarti perusakan, pemecahan dan pendobrakan. Orang yang bertindak merusak, perusak disebut Ruptor. Diksi ‘Co’ ditambahkan menjadi Corrumpere mengandaikan ada kooperasi, kerjasama atau keterlibatan orang lain, jadi corrumpere artinya memecahkan atau merusakan (Monang, 2019: 7).

Paling kurang ada tiga fenomena secara umum yang dapat menyebabkan korupsi yaitu pemerasan, penyuapan dan nepotisme. Para koruptor secara berskala melakukan korupsi karena tiga penyebab ini. Tindakan yang paling sadis adalah orang korupsi dengan memeras orang lain hanya demi kepentingan diri sendiri (Edi Abdullah, 2021: 118). 

Jika kita menelaah lebih jauh korupsi tidak semata-mata dikarenakan pemerasan, penyuapan dan nepotisme. Sebenarnya orang yang melakukan korupsi adalah mereka yang gagal memahami kehidupan orang lain dan tidak tuntas dalam memahami aktus korupsi yang pada dasarnya merugikan orang lain.

Materialis: Benih Korupsi

Orang yang materialis belum tentu koruptor dan orang yang banyak materi tidak pasti mendapatnya dari hasil korupsi. Saya mengafirmasi pernyataan ini, secara logis hal ini diterima dan dapat dipertimbangkan sejauh ada proses pemeriksaan. Namun orang yang bersikap dan berkarakter materialis akan mudah melakukan korupsi. Kecenderungan untuk menikmati selagi masih hidup memungkinkan orang jatuh dalam egoisme dan hedonisme yang berujung pada pencurian dan perusakan bahkan kehidupan dan barang milik orang lain (Arif, 2021: 11)

Saya kaji aktus perusakan ini dengan mendasarkan pada gagasan Charvaka yang hanya mementingkan nafsu yang bersifat temporal dan spasial. Charvaka yang berkeyakinan hidup hanya sekali dan tujuan hidup hanya untuk makan, minum dan berkawin mereduksi esensi kodrati manusia. Persis disini charvaka membuka ruang bagi manusia untuk memuaskan nafsu pribadi dengan mengabaikan orang lain termasuk alam. 

Pribadi-pribadi yang terjerumus dalam actus corrumpere melegalkan segala cara demi kepentingan tertentu dengan mengedepankan kepuasan sensual mereka dengan melupakan orang lain yang menderita akibat perbuatan mereka. Hasrat untuk memiliki dan meraih lebih banyak terus diasa karena yang dipakai adalah nafsu bukan nalar atau nurani. Pada titik ini charvaka tidak salah dalam argumentasi-argumentasinya, tetapi buah-buah pemikirannya telah memanifestasi kebutaan terhadap nilai-nilai dan kebenaran-kebenaran yang sejatinya lebih mementingkan kebaikan bersama. 

Konsep materialisme Charvaka pada tataran ini bersifat terbatas dan reduksionis. Terbatas karena tidak memepertimbangkan konsekuensi lanjutan dan mengesampingkan orang lain. Charvaka juga bersifat reduksionis karena konsep kepuasaan sensual cenderung meng objektivasi orang lain dan menceritakan orang lain dan alam sebatas objek yang bisa memuaskan dahaga mereka.

Kesimpulan

  Korupsi bukanlah persoalan lumrah dan baru yang bisa dianggap enteng. Tetapi korupsi adalah masalah klasik yang telah memakan korban dan membudaya di dalam masyarakat. Aktus-aktus corrumpere kian semakin menjadi-jadi karena beberapa koruptor telah jatuh dalam sikap materialis dan egoistis yang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. 

Sikap materialis ini juga bukan hanya anggapan semata pula. Berapa ratus tahun sebelum Masehi kelompok Charvaka telah merilis secara mendetail dengan kritik terhadap kaum rasionalis dan religius perihal tujuan dan keutamaan-keutamaan hidup. Bagi kelompok Charvaka menikmati hidup dengan makan, minum dan berkawin adalah bagian dari tujuan hidup karena hidup hanya sekali. Tidak ada Tuhan dan kehidupan sesudah mati dalam kamus mereka. Maka menikmati hidup dengan kepuasaan sensual adalah sebuah keharusan bagi seseorang selagi dia masih ada di dunia ini.

Gagasan ini tidak dikuburkan oleh perkembangan zaman, tidak juga lenyap bersama para penganut Charvaka, sebaliknya anggapan tersebut hidup dan berakar dalam diri manusia. konsekuensinya beberapa manusia lebih mengutamakan hidup dengan menikmati sepuas-puasnya bukan hanya dengan barang milik mereka tetapi dengan menjadikan orang lain korban melalui aktus corrumpere. Karena itu sikap materialis dan egoistis mesti dikritisi agar orang tidak terjebak dan mati dalam bernalar. Orang bisa sadar akan penting hidup yang layak bukan hanya mereka tetapi orang lain yang ada di sekitaran mereka. ***


Baca juga